2.502 Kilometer

859 70 1
                                    

Mulut Lana ternganga ketika melihat balasan @JohnDoe. Dia baru berani membuka inbox Worthwriting-nya saat dia terjaga jam dua malam, saat dia yakin Abyan sedang offline. 

Bagaimana dia bisa tahu? Apa dia memata-mataiku? 

Lana melompat dari tempat tidurnya, mengambil senter yang selalu tersedia di meja kecil dekat tempat tidurnya. Entah kenapa, saat ini yang terlintas di pikirannya adalah film psycho dimana tokoh utamanya tidak sadar kalau dia sedang dimata-matai. 

Konyol sekali, tapi pada akhirnya Lana melakukannya juga. 

Dia menyingkap sedikit tirai jendela kamarnya. Menyorotkan senternya keluar, tidak ada apa-apa. Bodoh, tidak mungkin Abyan melakukan hal seperti itu. Mungkin dia hanya menebak. Dia pasti pintar menebak. Atau...? Atau sebenarnya dia sudah memikirkanku sejak pertama kali melihatku?

Pipi Lana memerah di antara cahaya remang lampu tidur. Tapi sedetik kemudian, dia sadar. Lana terlalu senang Abyan menebak namanya dengan benar, sampai-sampai dia tidak membaca chat terakhir dari Abyan. "Km bukan hacker kan?" adalah petunjuk yang sangat jelas, kejujuran yang amat telanjang. 

Oh, tentu saja. Abyan tetaplah Abyan. Kepintaran dan kacamatanya sudah cukup menjelaskan semuanya. Dia pasti memiliki keahlian seorang hacker, dan dia telah melacak IP Lana. 

Diam-diam Lana patah hati. 

Lana kembali ke tempat tidurnya, berusaha melanjutkan tidur. Kemarin dia tidak masuk sekolah. Kepalanya pusing. Punggungnya nyeri. Ototnya kaku. Tubuhnya sakit semua. Kata Ayah operasinya akan dimulai besok lusa, jadi Lana memiliki sisa waktu dua hari ke sekolah sebelum melewati libur panjang tidak menyenangkan di rumah sakit. 

Tentu saja itu tidak menyenangkan. Tidak ada yang menyenangkan dari sebuah operasi tulang belakang. Dokter akan membedah punggungnya lebar-lebar, memasang plat besi di tulang belakangnya, seperti tiang penegak, kemudian menjahitnya kembali seolah otot dan kulitnya terbuat dari kain denim. Dia akan mengenakan rompi keras yang akan membuatnya merasa seperti tentara. Dia akan terbangun dengan bekas jahitan panjang di garis punggungnya, tanda yang tidak akan hilang begitu saja.

Yah, setidaknya tingginya akan bertambah.

Lana memejamkan matanya.

Tiga setengah jam kemudian, dia sudah mengenakan seragam. Dia mengenakan tas selempang di bahu kiri. Dia sudah manis di meja makan ketika anggota keluarga lain baru bangun tidur. Dia membuat sarapan untuk semuanya. Pada ujungnya, dia memohon pada Ayah, "Yah, antarkan aku, ya?"

Ayah tersenyum, mengucek matanya yang baru setengah terbuka. "Wah, kamu masak sarapan, ya?"

"Iya. Antarkan aku ke sekolah, ya?"

Ayah memicingkan mata ke arah jam dinding. "Ya ampun, sudah jam segini? Ayah tergesa-gesa, kamu berangkat sama Sherly."

Wajah Lana memucat. Sial sial sial sial sial sial sial sial. Dia akan kebakaran jenggot waktu bertemu Abyan. "Yah, punggungku sakit kalau naik motor."

"Aduh, gimana ya?" Ayah mengambil kemejanya, tergesa-gesa. Sebelum masuk kamar mandi, dia berkata, "Ayah antar sampai halte, nanti kamu naik bis."

Lana mengacak-acak rambutnya frustasi.

"Napa kamu?" Sherly tiba-tiba muncul.

"Mbak, anterin sampai sekolah, ya?"

Hidung Sherly berkedut. Sudut bibirnya tertarik ke satu sisi, tatapan licik meremehkan. "Ogah. Kamu kan bareng Ayah."

Lana menjatuhkan kepalanya ke meja. "Aduh!"

"Kemarin kamu ngomongin apa aja sama... siapa namanya? Cowok yang pake kacamata itu, anaknya dr. Mariana?" 

Lana meneguk segelonggong air putih, berusaha tidak menyemburkannya. "Abyan." 

"Nah, kalian ngomongin apa aja kemarin?" 

"Gatau." Kemudian Lana meneguk air putihnya hingga tetes terakhir, mengambil headset dan Dekut Burung Kukut di kamar, kemudian menunggu Ayah di teras. Jelas sekali, niat Sherly sejak awal adalah menyebut-nyebut nama Abyan supaya Lana terlihat bodoh. 

Tiga puluh menit kemudian, Lana mengakui, mungkin Sherly benar. Dia selalu terlihat bodoh. Lana menyerah dengan strategi baca-buku-pasang-headset untuk menghindari Abyan, karena pada akhirnya orang itu menghampirinya juga. 

"Gimana kamu bisa tahu itu aku?" 

"Ah, oh... itu?" 

"John Doe?" 

"Err..." 

"Jangan bilang kamu memata-matai aku..."

"Enggak! Enggak, ngapain juga aku mata-matain kamu? Justru aku pikir kamu yang mata-matain aku. Gimana kamu bisa tahu Little Girl itu aku?" 

"Engg--" Abyan ingin menyangkal, tapi kenyataannya dia memang telah melakukan violasi privasi dengan memanfaatnya keahlian hacking-nya. "Bukan gitu juga..."

"Kamu pasti ngelacak alamat IP-ku, ya?"

Abyan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Habis aku penasaran. Tapi kamu tadi belum jawab, gimana bisa tahu kalau John Doe itu aku." 

"Aku sempat lihat username itu di HP kamu, waktu habis kecelakaan bis itu." 

"Pantes..." 

Kemudian sunyi. 

Lana membuka Dekut Burung Kukut, tapi dia hanya pura-pura membacanya. Abyan membuka menyalakan HP-nya, tapi dia juga berpura-pura. Abyan tidak percaya dia telah menceritakan masalah pribadinya pada adik kelasnya sendiri, yang setiap pagi dengan canggung memulai percakapan dengannya. 

Dunia nyata begitu berbeda daripada dunia online. Dia bisa menjadi siapapun, mengatakan apapun pada siapapun di internet, tapi sekarang dia tidak bisa berkata apa-apa pada @little_girl di dunia nyata, karena dia bukan lagi John Doe. 

"Buku itu bagus," Abyan berkata canggung. 

"Pernah baca?" 

"Tiga kali." 

Lana mengucek hidungnya yang gatal dengan punggung tangan kiri. 

"Kenapa kamu nggak bilang kalau itu kamu, padaha kamu sudah tahu aku duluan?" 

Lana menyedot ingus yang tidak ada. Dia berharap hidungnya berair, tapi kenyataannya tidak. Dia ingin kabur dari percakapan yang mengambang antara kesedihan dan kecanggungan ini. 

"Nyari orang kayak kamu itu nggak gampang." 

"Heh?" Lana terkejut. Detak jantungnya semakin kencang. Pipinya merinding. 

"Nggak semua orang bisa jadi teman chat kayak gitu." 

Lana kembali ke daratan. "Oh." 

"Kata Mamaku kamu operasi tiga hari lagi." 

Lana mengangguk. 

"Kayaknya aku juga bakal pindah, tiga atau empat hari lagi. Aku sudah didaftarkan ke sekolah baru di Medan." 

Medan, kurang-lebih 2.502 kilometer dari tempat ini. Jika Lana memiliki pesawat jet, dia akan terbang ke sana setiap hari. 

Tapi kehidupan ini sangat nyata. Begitu nyata, sampai-sampai dia kehabisan kata. 

Tes.

Pletak.

"Lan?" 

Lana mengedip-ngedipkan mata. Kelopak matanya terasa berat. Sebelum pandangannya menghitam, dia melihat tiga titik merah pada halaman buku di pangkuannya. 

"Ya Tuhan, Lana!" 

Down My SpineWhere stories live. Discover now