Ikan dan Penyu

735 52 10
                                    

Empat hari pertama sejak Abyan masuk sekolah baru, dia menelefon Lana setiap hari, mencari tanda-tanda perbaikan memori temporal Lana. Tetapi usaha itu hanya membuat Abyan merasa semakin bersalah sekaligus kebingungan, karena Lana menanyakan pertanyaan yang sama sampai lima kali dalam satu telefon berdurasi sepuluh menit. Setiap kali Lana mengulangi pertanyaannya dengan nada linglung, bayang-bayang keluarga Lana yang memandang Abyan seperti parasit di malam terakhir dia melihat Lana terngiang kembali.

Di hari kelima, durasi telefon mereka tidak bertahan sampai sepuluh menit. Ketika Abyan berbaring di tempat tidur, menghadap kostum Batman-nya sambil menjawab pertanyaan "Kamu sekolah di mana?" yang dilontarkan Lana untuk keempat kalinya selama tujuh menit terakhir, Irene membuka pintu kamar Abyan tanpa mengetuk. 

Abyan melirik ke arah wanita itu dengan dahi berkerut. 

"Ada orang yang mencarimu di depan." 

"Siapa?" 

Irene sudah menghilang di balik pintu. 

Abyan mendengus, bangkit dari tempat tidurnya, berjalan ke ruang tamu masih dengan handphone di telinga kanannya. 

Sepasang suami-istri duduk di sofa ruang tamu. Abyan mengerutkan dahi. Rasa-rasanya dia pernah bertemu mereka, tapi dia sendiri juga tidak yakin.

"Abyan, ya?" 

Bagaimana mereka bisa tahu nama dan rumahku? "Oh, benar."

"Benar? Apa yang benar?" tanya Lana di seberang telefon.

"Sorry Lan, ada tamu datang ke rumah. Nanti aku telefon lagi."

"Ya..." jawab Lana berat.

"Nanti aku telefon lagi. Janji."

Abyan menutup telefon.

"Kami orangtua Audina," kata si bapak.

Oh, pantas. Abyan pernah melihat mereka sekali atau dua kali ketika masih kelas satu SMP.

"Sebelumnya maaf kalau tidak sopan, datang ke sini secara tiba-tiba, tapi kami butuh bantuan kamu," ibu Audina berterus-terang. 

"Bantuan... maksud Ibu?" 

"Beberapa hari yang lalu kamu bertemu Audina, kan?" 

Abyan mengangguk. 

"Kami yakin kamu sudah tahu bagaimana keadaan Audina. Dia sudah tidak berbentuk. Kami sangat mengkhawatirkan dia, karena itulah kami minta bantuan kamu."

"Tapi saya bukan dokter, Bu. Saya tidak bisa menyembuhkan Audina." 

"Kami tidak meminta kamu menyembuhkan kankernya," kata ayah Audina. Dua orang di depan Abyan saling bertukar pandangan sejenak. 

"Dia depresi," kata si ibu. "Dia depresi sejak pertama kali didiagnosis. Kami pindah ke Medan karena di sini ada rumah sakit keluarga kami dan dokter yang kompeten. Kami ingin menyembuhkan dia. Tapi setelah dua tahun, ternyata penyakitnya semakin buruk. Depresinya mempersulit proses penyembuhan. Dia sulit makan, dia sulit minum obat, dia sulit diajak bicara. Kami sudah mencoba segala cara, tapi tidak ada yang berhasil. Sampai akhirnya beberapa hari lalu, kami lihat wajahnya kembali cerah seperti dulu. Dan itu karena kamu." 

Audina depresi. Jadi itu alasan dibalik perubahan drastis Audina. Kanker saja tidak akan mengubah Audina menjadi mayat berjalan, pasti ada sesuatu yang lain. Dan jika kankernya sudah sampai stadium akhir, maka depresinya sudah bergerak lebih jauh dari pada itu. 

"Abyan, kami benar-benar memohon," ibu Audina meletakkan tangannya di atas tangan Abyan. Matanya mulai berkaca-kaca. "Kamu satu-satunya harapan kami." 

Down My SpineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang