Mimisan

1.7K 88 0
                                    

Setelah terjaga sepanjang sisa malam itu, Lana harus berjuang keras menjaga matanya terbuka sepanjang jalan menuju halte. Sherly yang menyetir motornya lambat, juga udara dingin, semakin mempersulit usaha Lana. Rasanya dia sudah berkedip-kedip sejuta kali, karena setiap kali kelopaknya akan menutup, dia harus melawannya dengan berkedip sebanyak mungkin.

Tapi cara itu hanya membuat mata Lana terasa perih.

Jam setengah lima tadi, Lana duduk di meja makan keluarga dengan segelas air putih dingin di hadapannya. Dia tidak boleh tidur, karena jika dia tidur, dia akan tertidur sampai jam tujuh. Lana sudah habis tiga gelas air sejak pertama bangun tengah malam tadi, dan dia juga sudah ke kamar mandi satu kali untuk buang air. Setelah berdiam diri di meja makan, meneguk air minum dingin, memaksa matanya terbuka seperti mata burung unta, menampar pipinya setiap kali hampir jatuh tertidur.

Karena saat-saat itu begitu menyiksa, akhirnya Lana menyeret kaki ke kamar mandi, membersihkan diri untuk persiapan sekolahnya hari ini. Udaranya memang dingin, tapi Lana tidak ingin dikalahkan nafsunya sendiri. Dia mandi dengan air dingin, dia harus tetap terjaga.

Meskipun air dingin mandinya tadi hanya bertahan sampai lima menit setelah sarapan, setidaknya dia berhasil naik ke boncengan Sherly dan duduk tegak—koreksi, duduk paling tegak yang Lana bisa, meskipun punggungnya tetap membengkok dan sedikit condong ke depan. Dengan ‘punuk’ di punggung bagian kanannya, kini Lana benar-benar merasakan sensasi menjadi kura-kura tua yang berjalan lambat, sementara aura kantuk memancar dengan kuat, seperti dalam film kartun anak-anak.

Tetapi ketika melihat halte horor yang fenomenal itu, dengan sesosok cowok familiar duduk jauh-jauh dari bagian bangku bengkoknya, wajah Lana seperti disiram mata air surga. Kantuknya hilang semua.

“Jam berapa?” Sherly menengok pada adiknya yang sedang turun dari boncengan.

Pasti Abyan lagi baca berita.

“Na, kamu pulang jam berapa?”

Fiuh... deg-degan jadinya.

“Hoi, pulang jam berapa? Ntar nggak aku jemput loh!”

Duh, emang bener kelihatan tuh cowok pinternya. Keren lagi. Kacamatanya itu nggak bikin dia kayak kutu buku, tapi bikin dia kelihatan kayak Bill Gates versi muda-gantengnya...

“Woi, Na!” Sherly akhirnya menjitak kepala sang adik setelah panggilan empat kali tak terjawab.

“Aduh!”

“Punya kuping tuh dipake, aku tanya—“ kalimat Sherly terputus di tengah jalan ketika dia melihat cowok yang duduk di halte. Sherly menangkap basah kemana mata Lana tadi tertuju, kemana perginya pendengaran dan pikirannya sehingga tak menanggapi panggilannya. “Ow....”

“Apa?” Lana mempertanyakan sambungan kalimat Sherly, tapi kemudian dia sadar apa yang dipikirkan kakaknya.

Wajahnya memerah.

“Ow, jadi sekarang kamu kayak gini, hah?? Sukanya ngeliatin cowok?” ledek Sherly dengan seringaian setan.

“Enggak, Mbak!” Lana menyangkal, tapi Sherly tahu adiknya itu berbohong.

“Aku bilang Ibu, nanti mati kamu,” tawa setan Sherly kian menjadi.

“Nggak pa-pa, bilang aja sana sama Ibu, orang aku nggak kenapa-kenapa kok.”

“Nggak kenapa-kenapa gimana? Liat cowok sampe segitunya. Masih sekolah tu jangan pacaran, nilaimu ancur semua nanti. Udah nilaimu pada ancur, tambah ancur lagi ga ada bentuknya nanti.”

“Mbak juga pacaran.”

“Beda lagi... aku udah kerja, udah gede, kamu masih bau ingus.”

Lana membuang napas sebal penuh dendam. “Jam tiga. Titik.” Dia berbalik, berjalan menuju halte dengan kepala menunduk malu. Sementara itu, Sherly tak tanggung-tanggung tertawa setan “Hahahaha!!” kemudian memutar balik motornya dan melenggang pergi.

Down My SpineWhere stories live. Discover now