Aku Punya Nama

2K 115 7
                                    

Lana tidak bisa berhenti memikirkan Cowok Tinggi Berkacamata itu sepanjang waktu sejak kali pertama dia melihatnya. Di kelas, segala hal, setiap benda, setiap kata, mengingatkannya kembali pada cowok itu. Guru Matematika yang berkacamata membuatnya berhalusinasi bahwa laki-laki tua-jangkung-berkacamata itu adalah si cowok di halte tadi pagi. Guru Bahasa Inggris membuat contoh kalimat yang mengandung kata ‘bus stop’, Lana teringat cowok itu. Cewek di sampingnya hendak memasukkan smartphone-nya ke loker penitipan kelas, Lana teringat cowok itu berdiri dengan mata melekat pada benda serupa.

Setiap benda, setiap kata, setiap gerak-gerik yang terjadi setiap saat, dimanapun berada, tiba-tiba saja menjadi pelatuk yang meluncurkan Lana ke brankas memori Cowok Tinggi Berkacamata seperti meluncurkan peluru Winchester 223 Super Short Magnum. Sangat cepat, sangat sering. Lana tidak ingin kekagumannya pada seseorang mengganggu aktivitas dalam hidupnya, tapi itu terjadi secara otomatis. Otaknya belum pernah terasa seotomatis ini.

Ketika bel pulang disuarakan oleh stereo seluruh sekolah, dan para siswa dengan bahagianya segera keluar area sekolah, Lana membaurkan diri dengan gerombolan anak-anak yang berjalan ke gerbang sekolah. Bis tumpangannya akan berhenti di sana, dan dia harus berada di sana sebelum bis itu ada di sana. Hanya satu bis yang melewati perempatan berhalte itu, tempat kakaknya akan menjemput nanti.

Oh ya, perlu digaris bawahi: menjemputnya lima belas menit kemudian.

Lana berjalan cepat dengan kedua tangannya menggantung di tali bahu, posisi klise para pemakai tas ransel. Dia bisa merasakan gantungan kunci bunga mataharinya yang terbuat dari kawat tembaga bergoyang-goyang bersama dengan ranselnya.

Gantungan kunci yang berharga.

Lana telah bersumpah akan memasang gantungan kunci itu di tas manapun yang ia pakai, selama itu memungkinkan. Jika ia berganti tas, bahkan hingga dewasa nanti, dia akan tetap memasang gantungan kunci itu di tas yang ia pakai. Bisa dibilang semacam jimat, meski Lana tak pernah mempercayai hal-hal berbau mistis dan supranatural.

Gantungan itu memberinya keberanian. Dan kenyamanan.

Seorang cowok yang sedang berlari dari arah belakang, tanpa sengaja menabrak bahu kiri Lana.

Lana merasa tubuhnya baru saja dihantam truk kontainer berkecepatan 100 km/jam. Dia hampir jatuh terjerembab dengan muka menghantam tanah, tapi untungnya keseimbangan tubuhnya mampu menguasai diri lebih baik daripada tulang belakangnya.

Cowok itu menoleh ke arah Lana sebentar sementara larinya melambat. Kedua tangannya terangkat setinggi bahu, telapak tangan menghadap Lana. “Sori!”

Kemudian dia berlari lagi.

Apa-apaan...? Lana menahan sengatan nyeri di punggung sisi kanannya. Meski hal seperti itu sering terjadi dan Lana sudah terbiasa dengan dampaknya (sengatan nyeri, untung tak bertahan lama), tetap saja dia benci cowok-cowok yang berlarian seceroboh itu. Cowok itu baru saja membuat tiga kesalahan paling menyebalkan yang diketahui Lana: 1. berlari di keramaian, 2. menabrak cewek, dan 3. tidak meminta maaf secara pantas.

Lana mengembuskan satu nafas kesal keras-keras, kemudian melanjutkan langkah. Ketika dia sudah keluar gerbang, di antara keramaian anak-anak SMA, dia mendengar seseorang berseru di belakangnya, “Hei, skoliosis!”

Panggilan itu adalah tusukan belati di jantung Lana.

Dari kurang lebih seratus anak SMA yang berada di lingkungan gerbang, hanya ada satu orang yang bisa dipanggil dengan panggilan itu. Hanya Lana seorang. Tapi itu bukan berarti panggilan itu pantas untuknya, kan?

Kedua tangan lana turun dari tali bahu ranselnya. Menggantung. Mengepal di samping pahanya. Dengan marah, Lana berbalik untuk melihat manusia mana yang tega memanggilnya dengan panggilan seburuk itu.

Down My SpineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang