Suatu Pagi di Halte

3.5K 135 10
                                    

Lana mencangklong ransel di punggungnya.

Minggu kedua di SMA, MOS telah berakhir, tapi berat di ranselnya itu rasanya tak berkurang sama sekali. Berat tas ranselnya adalah salah satu dari sekian banyak hal yang selalu dikeluhkannya tentang sekolah. Bagaimana bisa anak Indonesia tumbuh tinggi dan sehat kalau setiap hari disuruh membawa buku-buku sebanyak ini? Berharap saja. Sudah tahu pada dasarnya ras Mongoloid itu pendek, malah diperburuk dengan beban tas ransel.

Buku terbuat dari kertas. Kertas terbuat dari kayu. Kalau begini, apa bedanya pelajar dengan pencari kayu bakar?

“Bye, ntar aku jemput sekitar jam tiga ya?” Sherly, kakak Lana, melambaikan tangan. Wajahnya lima kali lebih cerah daripada wajah sang adik. Ya iyalah, orang dia mau gajian hari ini, gerutu Lana dalam hati. Hidup seorang akuntan memang lebih indah daripada hidup seorang pelajar, terutama siswa tahun pertama di SMA.

“Jam tiga pas,” koreksi Lana.

Sherly menengok jam tangannya. “Tiga seperempat.”

“Tiga. Titik.”

“Tiga seperempat.”

“Tiga kosong-kosong!”

Serly membuang nafas. “Ya ampun, cuma lima belas menit aja, Na. Nggak sabaran amat sih. Aku juga punya urusan, tahu.”

“Awas kalau lebih dari itu,” Lana akhirnya menyerah.

“Oke, dadah!” Sherly melenggang pergi dengan motor automatic warna birunya.

Lana menengok kiri-kanan, depan-belakang. Tempat ini sepi. Meskipun kota ini merupakan kota kecil nan sepi dengan penduduk berkisar sepuluh ribu jiwa, tempat ini masih tergolong sepi. Sebenarnya kota ini tidak bisa dikatakan kecil dari sudut pandang geografis. Bentang alam seluas 200 km2 tidak dapat dikatakan kecil. Tapi secara demografis, kota ini benar-benar kecil, mengingat jumlah penduduknya.

Hanya ada satu tiga SMA di kota ini, SMA 1, SMA 2, dan SMA 3. Nomor-nomor itu diurut berdasarkan sejarah pembangungannya. SMA 1 selain yang tertua, juga memiliki reputasi sebagai SMA terbaik di kota ini. Di antara ketiga sekolah itu, SMA 3-lah yang paling dekat dengan rumah Lana, tapi orangtua dan kakaknya mendesak dia ke SMA 1. Jadilah sekarang Lana harus bagun pagi enam kali seminggu, menumpang kakaknya sampai persimpangan jalan ini, kemudian melanjutkan delapan kilometer sisanya dengan bis.

Lana memandangi halte di depannya dengan kepala miring 45o. Apa-apaan ini? Halte apa rumah hantu? Serem banget.

Atap halte itu hanya seperempat meter lebih tinggi dari ubun-ubun Lana, kalau saja bisa disebut atap. Memang ada kerangka atapnya, dua segitiga dan sebatang segitiga melintang di antaranya, tapi tidak ada penutupnya. Tiang besi berkarat di kanan-kirinya tersambung langsung dengan bangku besi yang bengkok. Jika ada empat orang yang ingin duduk di halte ini, satu diantaranya harus duduk di cekungan mengerikan di sebelah kiri.

Mengerikan.

Untungnya, ruas jalan ini adalah jalur tersepi menuju SMA 1, jadi takkan ada banyak korban. Tapi itu juga berarti, bis hanya lewat satu kali. Lana hanya punya dua pilihan, bangun pagi kemudian sampai sekolah tepat waktu atau bangun kesiangan sehingga tidak bisa ke sekolah, kecuali kalau Sherly yang super perhitungan dan pelit itu mau membuang bensin enam belas kilometer dari perempatan ini-SMA 1-perempatan ini. Dan Sherly hanya mau berbaik hati di minggu pertama, karena saat MOS, Lana harus sampai di sekolah jam enam tepat.

Sekarang Lana tidak tahu bagaimana mengusir gerutuannya.

Dia berjalan menuju halte horor itu, duduk di kursi paling kanan. Dingin besi kursi itu menembus rok abu-abunya, sampai ke kulitnya. Lana melepas ranselnya, meletakkannya di pangkuan. Dia menyentuh bahu kanannya dengan tangan kanan. Ia bisa merasakan ruas-ruas tulang belakang dan otot trapeziusnya melantunkan puisi sarkastis tentang skoliosis.

Inilah kenapa aku lemah sekali, pikirnya.

Di antara semua bagian tubuhnya, Lana paling membenci tulang belakang. Kulitnya boleh kering dan terbakar di beberapa bagian, matanya boleh berlingkar panda, dan rambutnya boleh pendek seperti anak laki-laki, tapi tulang belakang...

Mungkin genetika adalah sebutan lain untuk ‘takdir Tuhan’. Kakeknya juga menderita skoliosis. Seluruh paman, bibi, dan sepupunya selamat dari kutukan itu, tapi Lana tidak. Lima belas tahun dia hidup dengan skoliosis, sejauh ini baik-baik saja, tapi penyakit itu sangat mengganggu ketika ia harus mengangkat barang berat. Terutama tas ransel. Tas ransel sekolah yang membuatnya merasa seperti pencari kayu bakar.

Seorang cowok berseragam abu-abu putih berjalan ke arah halte.

Lana mengamati cowok itu dengan mata tak berkedip. Pertama kali dalam hidupnya, Lana melihat adegan slow motion terjadi di dunia nyata, bukan hanya di layar kaca. Citra cowok itu terlihat sangat jelas di mata Lana. Retinanya tidak pernah memantulkan bayangan sebaik ini. Lana bukan penderita myopia, tapi dia merasa seolah pandangannya berubah dari rabun menjadi sebening kamera DSLR.

Cowok tinggi berkacamata itu menyampirkan ransel di bahu kanannya. Rambut hitamnya yang sedikit acak-acakan terlihat sesegar udara pagi itu. Kakinya yang panjang memungkinkan dia melangkahi dua anak tangga tanpa usaha berarti, tapi dia berjalan sangat santai. Langkahnya memelan dan matanya sedikit menyipit secara spontan ketika melihat ada manusia di halte.

Lana langsung memalingkan pandangan lurus ke depan. Pipinya merinding. Dia memainkan jari-jarinya di atas ransel. Kepalanya menunduk.

Mungkin cowok itu hanya terkejut ada orang lain yang menunggu bis di halte yang sama dengannya. Mungkin Lana adalah satu-satunya orang selain cowok itu yang harus naik bis dari halte itu sampai sekolah, Lana sudah menduga hal itu. Ini adalah pertama kalinya Lana menunggu bis di halte itu, tapi tidak sulit untuk menebak hal itu. Tempat ini adalah salah satu sudut terpencil di kota.

Lana melihat sepatu cowok itu. Dia berdiri arah jam sepuluh.

Lana memberanikan melihat cowok itu, karena dia tidak sedang melihat Lana. Badge kuning tertempel di lengan kanannya. Kelas sebelas?

Selama tiga menit berikutnya, Lana hanya diam. Cowok itu masih berdiri. Tangannya sibuk dengan smartphone. Lana menggunakan kesempatan itu untuk mengamatinya dalam diam.

Kacamata, pakaian rapi, tas menggembung oleh buku-buku, dan situs berita online di pagi hari. Cowok itu pasti kutu buku. Yang terpintar di kelasnya? Bisa jadi. Sikapnya yang cenderung terkesan menjaga jarak dengan anak perempuan sedikit menyinggung Lana pada awalnya, tapi kemudian dia sadar kalau itu adalah salah satu ciri-ciri cowok baik. Dia bukan tipe cowok yang berpacaran segampang mencari kenalan.

Lana menjentikkan jari, berteriak girang dalam hati. Mungkin dia tidak punya pacar!

Cowok itu menengok ke belakang. Efek dari euforia jentikan jari.

Lana salah tingkah.

Tatapan itu hanya bertahan sepersekian detik. Cowok itu kembali membaca berita lewat smartphone-nya. Tak lama kemudian, bis berhenti.

Lana mencangklong tas ranselnya di punggung, kemudian naik bis setelah cowok itu. Entah kenapa, rasa nyeri akibat beban ransel tiba-tiba saja hilang setelah Lana melihat cowok itu.

***

Down My SpineWhere stories live. Discover now