Batu dan Darah Dewa

873 62 0
                                    

Ketika titik-titik hujan berhamburan ke tanah, Abyan dan Lana sudah berlari ke tangga dengan kantong-kantong penuh seprai. Pakaian mereka basah, tapi tak satu pun dari mereka menhiraukannya. 

Pada dua anak tangga terakhir, Abyan mengambil dua kantong seprai yang ada di tangan Lana, berkata, "Aku mau mengembalikan seprai-seprai ini ke ruang laundry. Kamu harus segera ganti baju." 

Lana hanya mengangguk, kemudian Abyan melenggang pergi. Agaknya dia terpesona dengan cara Abyan memecahkan kecanggungan di antara mereka. Beberapa saat lalu, Lana bisa melihat wajah 'apakah-ini-mimpi?' Abyan ketika dia memuntahkan pengakuannya tadi, tapi beberapa detik kemudian wajahnya sudah kembali normal, datar seperti biasa. 

Tetapi sebagian lidah Lana terasa kering, seperti baru saja menelan makanan hambar. Barangkali dia salah menerjemahkan pelanggaran batas maksimum shift volunteering itu? Barangkali Abyan hanya mengasihaninya? 

Lana berjalan kembali ke kamarnya. Dia mengeluarkan undangan yang ujung-ujungnya menjadi lembab karena hujan, meletakkannya di atas meja. Dia berlutut untuk mengambil baju dari koper yang dibawa Ibu beberapa hari lalu, pergi ke kamar mandi, kemudian berganti baju.

Ketika Lana kembali ke kamarnya, Abyan sudah berada di sana, berdiri di depan jendela yang terbuka lebar. Dia sudah berganti dengan baju yang dia pakai saat berangkat tadi.

Lana meletakkan baju basahnya di keranjang pojok ruangan.

"Kamu suka hujan?"

Abyan menoleh ke belakang, tapi tahu-tahu Lana sudah berdiri di sampingnya.

"Aku suka bau hujan."

"Petrichor," koreksi Abyan.

"Apa?"

"Petrichor, 'bau hujan'," Abyan menunjukkan senyum itu. Senyumnya yang langka. Senyum yang hanya terjadi beberapa kali seumur hidupnya. "Dekomposit tumbuhan yang berada di lapisan atas tanah melepaskan bau ketika air hujan turun. Dan actinobacteria di dalam tanah yang melepaskan geosmin, menghasilkan 'bau hujan' yang disebut petrichor."

Lana membalas senyum Abyan. Percakapan dengan seorang kutu buku tak pernah membosankan. "Kamu tahu banyak."

"Karena aku juga suka petrichor," kata Abyan. "Dan hujan, juga," tambahnya.

"Oh," Lana tidak bisa menyembunyikan bintang-bintang di matanya. "Jadi kalau kamu suka sesuatu, kamu tahu segalanya tentang hal itu?" 

"Ah, nggak juga. Tergantung seberapa luas 'segalanya' itu," Abyan kembali melempar pandangan keluar. Beberapa titik hujan hinggap di batang hidungnya. "Dan nggak semua yang aku suka, aku tahu tentangnya." Aku belum tahu banyak tentang kamu, pikir Abyan.

"Um, Ab," Lana melirik titik-titik hujan yang berjatuhan di lantai.

Abyan menengok pada Lana. Melihat mode canggung yang kembali terpasang di wajahnya, Abyan mengira Lana akan membawa percakapan mereka menyelam lebih dalam.

"Kayaknya kita harus tutup jendelanya. Nanti kita basah lagi."

Ekspektasi Abyan jatuh 20 meter ke tanah. Dia kembali ke realitas. "Oh, benar." Selagi dia menutup jendela, Abyan menyadari satu hal tentang romantisme: masalah teknis selalu menang. Banyak orang tidak memperhitungkan hal itu dan hanya membayangkan bagian 'kiss me under the rain'-nya saja. Memangnya hidup ini film The Notebook

Abyan menggosok-gosok hidungnya. Dia mondar-mandir di dekat jendela selama beberapa saat, memupuk nyali untuk membicarakan masalah 'sebenarnya aku suka kamu' itu, meskipun dia ragu apakah itu masih berguna, karena tiga hari lagi dia sudah pergi ke Medan. Jika dia mengatakan hal itu, toh kebersamaan mereka akan kadaluarsa dalam tiga hari. 

Down My SpineWhere stories live. Discover now