Siluet

1.2K 87 3
                                    

Ransel Abyan menggantung di bahu kirinya. Tangan kirinya memegangi lengan kirinya tetap dalam posisi terlipat. Itu adalah satu-satunya cara untuk menjaga agar lengannya tidak bengkak nantinya. Selain itu, mengetahui lengan kanannya masih bisa dilipat, Abyan bersyukur tulangnya tidak ada yang patah. 

Meski begitu, dia tidak yakin Lana baik-baik saja. Gadis itu berjalan seperti kura-kura di belakangnya, seolah seseorang baru saja meletakkan batu sebesar mobil di atas punggungnya. 

Abyan merasa beruntung tadi dia tetap memakai ranselnya di punggung, sehingga ketika tubuhnya terguling jatuh, ranselnya lah yang menerima hantaman keras. Tapi Lana tidak begitu. Seperti yang diajarkan Ibu, Lana selalu mengenakan ranselnya di depan ketika naik bis. Dalam keadaan normal, itu memang aman dan sangat menguntungkan. Tapi ketika dia harus jatuh dari tempat duduknya secara tiba-tiba untuk bertahan hidup dengan punggung sebagai tumpuan pendaratan... lagi-lagi Lana terkena sial. 

Abyan menengok ke belakang, pada Lana. 

Lana mendapati Abyan menengok padanya. 

Abyan kembali menatap lurus ke depan. 

Lana menatap punggung cowok itu. Setengah tubuhnya masih kaku. Apakah dunia sekecil ini? Dia mengetahui kalau @JohnDoe adalah Abyan, tapi dia masih belum mempercayainya.

Abyan melirik di sekelilingnya, para penumpang yang kebanyakan sudah keluar sebelum dirinya. Mereka adalah para penumpang beruntung yang duduk di sisi kiri bis, tubuh mereka seratus persen utuh sehat. Ada anak menangis, wanita gemetaran, dan laki-laki dewasa yang kerepotan mencari bantuan, berusaha membebaskan korban yang masih terjebak di dalam bis. 

Di luar semua kekacauan itu, sebenarnya Abyan memerangi dirinya sendiri untuk tidak menengok ke belakang, ke arah Lana. 

Dia baik-baik saja, sebuah suara berbisik di telinga kiri Abyan. 

Kamu nggak kasian? Dia itu cewek, skoliosis, terus kamu dorong kasar banget kayak gitu, emangnya nggak sakit? suara lain berteriak di telinga kanan Abyan. 

Alah, dibilang nggak apa-apa yang nggak apa-apa. Masih mending dia tadi kamu dorong, kalau nggak gitu pasti kalian berdua udah mati disasak truk. 

Simpati dikit napa?

Tuh, lebay lagi lebay lagi. Orang dia bilang sendiri nggak napa-napa, kenapa kamu yang bingung?

Ya tapi liat dong, emang dia kayak orang nggak kenapa-kenapa??

BERISIK!

Leher Abyan spontan memutar ke belakang. Mereka sudah keluar bis.

Lana yang sedang menggali saku depan tasnya, mencari ponsel untuk menelefon Sherly mendadak berhenti. Lagi-lagi tatapan mereka bertemu. 

"Kamu beneran nggak pa-pa?" tanya Abyan cepat. Cepat sekali. 

Lana mengerutkan dahi. "Air kelapa?" 

Kalau keadaannya tidak seperti ini, Abyan pasti sudah menepuk dahinya keras-keras dan berteriak betapa bodohnya homo sapiens di depannya itu. 

Abyan menghela napas, kemudian membuangnya dengan cepat.

"Air kelapa buat apa?"

"Ah, nggak kok, nggak usah dipikirin," Abyan menyerah. Kelihatannya Lana baik-baik saja. Itu tadi adalah hal paling konyol dan memalukan yang pernah dia lakukan.

Lana menemukan ponselnya. Dia menekan nomor Sherly. Tidak ada jawaban.

Abyan mengacak-acak rambutnya sendiri, berjalan menuju salah satu sudut jalan yang sepi, berencana berdiri di sana sampai ibunya datang menjemput.

Down My SpineWhere stories live. Discover now