Audina

648 50 2
                                    

Audina. Ya, itu Audina.

Matanya tidak mungkin berbohong.

Memorinya tak pernah sekali pun pudar. Audina berada di memori bawah sadar Abyan. Setiap kali reseptor inderanya menangkap segala rangsang yang berhubungan dengan Audina, neurotransmitter-nya mengantarkan rangsang 0,2 milisecond lebih cepat dari biasanya menuju bagian asosiasi, mengantarkannya pada memori bernama 'Audina', kemudian menghantam bagian emosi yang paling dalam.

"Oh, Audina...." Abyan memaksa kerongkongannya menelan bakso.

"Ya ampun, Ab, nggak nyangka ketemu lagi di satu sekolah... kamu pindah ke Medan?" seakan tak melihat Abyan nyaris tersedak makanannya sendiri, Audina mengajaknya bicara seolah mereka masih sahabatnya seperti empat tahun lalu.

"I-iya," jawab Abyan, di dalam hati berpikir, aku juga nggak nyangka bakal ketemu kamu lagi.

"Halo? Ab?" suara Lana masih memanggil di seberang.

"Eh, iya, Lan, anu... err..." Abyan terjebak diantara dua orang yang sangat ingin dia ajak bicara, sehingga dia kehabisan kata-kata.

"Oh, sorry, kamu masih telefon," Audina berkata pelan. Dia duduk di samping Abyan, memberi kesempatan 'sahabat lamanya' itu menyelesaikan telefon dengan Lana.

"Sorry Lan, nanti aku telefon lagi."

Abyan menekan tombol gagang merah.

"Keluargamu pindah ke sini juga?"

"Iya-eh, maksudku, nggak, cuma aku yang pindah. Sekarang aku tinggal sama Papaku."

"Oo..." bibir Audina membulat. Bentuk yang sama persis seperti empat tahun lalu, bentuk yang masih lekat di ingatan Abyan.

Tapi gadis itu secara fisik telah berubah.

Dia kurus. Ketika Audina meletakkan tangannya di atas meja, meletakkan teh botolnya, Abyan bisa melihat dengan jelas pergelangan tangannya yang hanya tulang terbungkus kulit. Empat tahun lalu, tubuh Audina berisi dan sehat, sehingga Abyan mengira dia makan lima kali, kemudian berlari lima kilometer setiap hari.

Sekarang, Abyan ragu apakah dia pernah makan. Sekarang, dia ragu apakah Audina masih bisa berlari 500 meter tanpa terengah-engah.

Dan rambutnya... ya Tuhan, rambutnya seperti baru saja disihir. Empat tahun lalu, rambutnya seperti sutra hitam di lautan yang berombak, sekarang rambutnya seperti rangkaian benang yang disetrika sedemikian rupa. Rata, kaku, mati.

Kulitnya yang dulu putih segar produk alami genetik, kini seperti dilapisi kulit artifisial. Pucat dan muram, seperti kain yang telah disimpan di almari tua selama seratus tahun. Warna yang tak menggairahkan.

Tapi Abyan masih mengenalinya, mungkin karena kacamata yang dia kenakan, model yang sama dengan empat tahun lalu. Dan yang paling penting, jepit rambut signature, ikan biru muda yang bertengger di kepalanya.

Anak perempuan berubah, seperti halnya anak laki-laki bertambah tinggi dan mulai menumbuhkan jakun di leher mereka, tapi Abyan tidak tahu ada perubahan yang seperti ini. "Din, kamu kok..."

Audina menyelipkan poni sampingnya di balik telinga.

Sekarang Abyan baru sadar. Rambut itu bukan rambut sejati. Mungkin itu rambut sejati, tapi itu bukan rambut Audina. Itu adalah rambut donor. Rambut seseorang-mungkin dua atau tiga orang, bahkan lebih-yang dirangkai kemudian dipasangkan di kepala Audina, supaya orang awam berpikir itu rambut Audina. Tapi Abyan melihat tipuan kecil itu. Itu bukan rambut Audina.

Nyatanya, Abyan ragu apakah Audina masih punya rambut di kepalanya.

Abyan meletakkan garpunya di mangkuk bakso.

Meletakkan handphone-nya di meja.

Menelan ludah.

Menggosok hidungnya, meski tak ada ingus yang tersisa di sana.

Dia membiarkan telapak tangannya tetap di sana, menutupi bagian bawah hidung sampai dagu. Sikutnya bertumpu pada meja kantin selagi lubang hidungnya menyedot ingus yang tidak ada.

Abyan tidak pernah menaruh sambal pada baksonya. Dia tidak tahan pedas. Pernah, sekali, Audina memaksanya makan mi ayam dengan sambal, tapi tiga menit kemudian matanya berair.

Abyan tidak menaruh sambal pada baksonya. Tapi sekarang matanya berair.

Dia telah memecahkan misteri hilangnya Audina. Dia telah menemukan Audina, 3.000 kilometer dari tempat mereka bertemu empat tahun lalu. Misteri yang sangat ingin dia pecahkan, tapi kini dia berharap dia tak pernah memecahkannya.

"Di mana itu?" suara Abyan gemetar.

"Darah," bibir Audina membentuk garis lurus yang tegas, menguatkan dirinya sendiri.

Sekali lagi Abyan menyedot ingus yang tidak ada. Dia menyelipkan jari telunjuk di balik bingkai kacamata, menghapus air yang hampir turun dari sudut kelopak matanya.

"Apa kata dokter?"

"Satu tahun. Dua tahun." Audina mengangkat bahunya. "Stephen Hawking bisa bertahan sampai puluhan tahun karena-" Audina membuat simbol petik ganda dengan jari telunjuk dan jari tengahnya, "-keajaiban, jadi mungkin aku juga bisa."

Mata Abyan menyipit. Memicing. Berkedip. Mengerjap. Dahinya berkerut. Suaranya rendah, "How?"

"Mutasi. Kamu pasti tahu itu. Kamu lebih pintar dari aku."

Benar. Abyan tahu itu. Dia tahu banyak sekali penyakit. Ibunya dokter, dia ingin menjadi dokter. Dia tahu persis, tapi ketidak terimaan membuatnya menanyakan sesuatu yang dia tahu pasti.

"Kenapa kamu masih sekolah?"

Audina menahan nafas sejenak. Warna merah samar-samar menampakkan dirinya pada pipi pucat Audina. Arah matanya bepergian kemana saja asal bukan mata Abyan. "Aku cuma masuk hari ini saja..."

"Maksudnya?"

"Aku cuma masuk hari ini. Habis gitu aku nggak sekolah."

"Oh, jadi ini hari terakhirmu sekolah?"

"Yah, gimana ya? Bisa dibilang gitu," Audina menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Kalau aku jadi kamu, aku nggak ke sekolah sejak dulu."

Audina semakin bingung, tidak tahu bagaimana mengungkapkan apa yang ingin dia utarakan. "Ya memang, aku nggak sekolah."

"Lah, gimana sih?"

Audina menghirup nafas dalam-dalam kemudian menahannya selama beberapa detik. Dagunya terangkat. Telapak tangannya mengepal. "Aku sekolah hari ini supaya bisa ketemu kamu."

Dahi Abyan berkerut. Jangan-jangan...

"Kepindahanmu sudah bocor sejak minggu lalu. Temanku yang sekolah di sini, dia tahu tahu. Dia ngasih tahu aku. Nggak mungkin aku lupa nama kamu."

Kejutan ini terlalu banyak untuk Abyan. Pertama, dia menemukan Audina. Kedua, dia tahu Audina ternyata kena kanker. Ketiga, ternyata Audina juga masih 'mencarinya'. Rasanya seperti memenangkan undian berhadiah 1 milyar, ditinju sampai hidungnya patah, kemudian seseorang berkata kalau hadiah 1 milyarnya harus dipotong pajak sekaligus dipotong uang operasi reparasi hidungnya.

"Aku nggak sekolah di sini. Aku nggak pernah sekolah di sini. Aku cuma menyelinap hari ini, karena aku tahu hari ini kamu pindah ke sekolah ini."

"The fifth lesson will be started in 5 minutes," kata stereo di sudut kantin. Semua siswa meningkatkan kecepatan makan mereka, termasuk Abyan yang langsung menyahut garpu dan sendoknya.

Bel itu menghancurkan rencana Audina. "Um, kayaknya aku harus pergi," katanya dengan grogi. Dia meninggalkan kantin tanpa membawa teh botolnya. Abyan melirik kepergian Audina dan beberapa siswa yang sempat melirik penuh tanda tanya pada gadis itu.

Mungkin aku di sini untuk suatu alasan, pikir Abyan.

Punggung Audina menghilang di balik kerumunan manusia putih abu-abu.   

  

  

Down My SpineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang