Seprai-Seprai

925 71 0
                                    

Pikiran Ayah semakin terbebani ketika dr. Ardian berkata bahwa tubuh Lana kini sedang lemah, sehingga melangsungkan operasi dalam waktu dekat mungkin berisiko. Mereka akan berdiskusi dengan dr. Mariana tentang rencana pemunduran operasi itu, segera setelah dr. Mariana kembali ke rumah sakit. Beberapa menit sebelum dr. Mariana kembali, Lana sudah bangun dari pingsannya, tapi tubuhnya masih lemah dan kepalanya sedikit pening.

Bagaimanapun juga, dia terkejut ketika menyadari terbangun di rumah sakit dengan masker oksigen di hidungnya, sementara empat orang memandangnya seolah-olah Lana sudah di ambang kehidupan dan kematian. Tapi Lana lebih terkejut lagi sewaktu melihat Abyan bersama tiga orang lain yang memandangnya itu: dr. Mariana, Ayah, dan dr. Ardian. 

Dahi Lana berkerut. Kenapa Abyan memakai seragam dan masih di sini? Dia mengangkat pergelangan tangan kanannya, tapi jam tangannya tidak ada. Bodoh, pasti ketinggalan lagi di meja belajar

"Sekarang jam delapan lebih sepuluh," kata Abyan, melihat jam tangannya. 

Tiga orang dewasa di dekatnya menengok pada Abyan. Mereka pikir, masih sempatnya dua anak ini memikirkan jam berapa sekarang.

"Kena--" Lana melepas masker oksigen. Benda itu membuatnya tidak nyaman ketika bicara. "Kenapa nggak sekolah?"

"Ngapain? Aku kan mau pindah. Aku sudah keluar dari sekolah itu."

Sekali lagi, Abyan dan Lana membuat orang dewasa di dekat mereka bertanya-tanya apa yang salah dengan isi kepala mereka. Kenapa Abyan tidak mengatakan sesuatu seperti "Lana, kau sudah bangun? Kau tidak apa-apa?" tapi malah "Sekarang jam delapan lebih sepuluh."

"Oh," Lana memasang kembali masker oksigennya. Dia sedikit kesulitan bernafas. Mungkin asmanya kambuh. Tapi dia sendiri tidak tahu kenapa dia bisa pingsan. Tidak mungkin hanya karena asma. Rasanya sudah ratusan kali asma menyerangnya, tapi dia selalu bisa mengatasi. Bahkan akhir-akhir ini, dia merasa seperti 'bisa mengendalikan' asmanya.

Dr. Mariana mencondongkan tubuh mendekat pada Lana. "Lana, saya minta maaf, tapi sepertinya operasi tulang belakangmu harus ditunda."

Dahi Lana berkerut.

"Tubuhmu masih lemah. Kamu tadi mimisan, pingsan. Detak jantungmu lemah dan asmamu kambuh. Saya tidak berani melangsungkan operasi dengan keadaanmu yang seperti itu."

Ada api pertidaksetujuan di dada Lana. Dia tidak bisa menerima penundaan itu. Dia tahu semuanya sudah di-set oleh keluarganya dan dia sudah seratus persen siap. Dia tidak ingin menundanya lagi. Operasi itu memang membuatnya risau, tapi penundaan akan membuatnya jauh lebih risau. Dia ingin melakukannya besok lusa, titik.

"Kami sudah berdiskusi tadi. Operasimu memang harus--"

"Tidak," Lana melepaskan masker oksigennya, menggeleng kuat-kuat.

"Lana--" dr. Mariana berusaha mengembalikan masker oksigen Lana, tapi Lana menampiknya. "Lana, hentikan!"

"Kalian yang harusnya hentikan ini semua!!" teriak Lana kesal. Paru-parunya berteriak meminta oksigen, tapi emosi Lana mengalahkannya.

Reaksinya itu mengejutkan semua orang.

"Kalian selalu berlebihan. Kalian melarangku berenang. Kalian melarangku ikut karate. Kalian melarangku melakukan apa-apa. Kalian membuatku bergantung pada obat. Kalian membuatku lemah. Aku tidak bisa seperti ini. Operasi itu harus dilakukan tepat pada jadwal semula."

"Ini diluar kendali kami, Lana," kata dr. Ardian. "Keadaanmu memang begini adanya."

Dr. Mariana memandang Lana sedih. "Maafkan saya. Saya tidak tahu perasaan kamu, tapi itulah yang terbaik yang bisa kami lakukan untuk keselamatanmu," dia memasang kembali masker oksigen Lana. Kali ini Lana tidak menampiknya. Paru-parunya sudah terlalu sakit setelah berteriak tadi.

Down My SpineWhere stories live. Discover now