1. Partner Sefrekuensi

353 61 33
                                    




Jakarta, 2022


Aku selesai menempelkan lembar baru di mading sekolah. Memang sih zaman sekarang yang seperti ini sudah tidak terlalu diminati. Tapi ini cuma pengumuman semata. Siapa tau masih ada yang melihat-lihat mading sekolah. Walaupun sejak pandemi dua tahun lalu, segalanya berpusat pada teknologi. Semua-semua serba virtual. Termasuk semua pengumuman akan disebar di grup chat sekolah. Kemudahan menyebarkan informasi memang sangat praktis sekarang, tapi mading yang tidak pernah diganti isinya membuatku agak sedih.

Dulu, eskul jurnalis terasa sangat menyenangkan. Sekarang, jangankan mau diskusi dan membuat artikel baru untuk ditempel di mading, bisa kembali ke sekolah saja sudah sangat hebat. Terlalu lama belajar secara daring di rumah membuat beberapa siswa di SMA Bina Mulia Nusantara (Bimantara) menjadi euforia yang meledak. Beramai-ramai saling membuat konten untuk media sosial di sudut-sudut sekolah. Kangen kantin, kangen lapangan sekolah, kangen upacara, kangen ruang kelas dan bahkan kangen perpustakaan. Negara perlahan sembuh dan semua kembali senormal dulu. Sayangnya, ada beberapa hal yang kini dianggap tidak seru. Contohnya ya mading di beberapa koridor Bimantara.

"Mirip prasasti, kuno rasanya," ujar Gama.

"Iya," aku menyahuti. "Gak apa, Gam. Kalau bukan anak jurnalis yang peduli siapa lagi coba? Mading ini cuma hiasan atau sarana yang mesti ada di sekolah-sekolah kan? Yang penting Bimantara punya tempat buat menempel pengumuman, informasi atau apalah itu. Kayak yang kamu bilang tadi, Gam. Serupa prasasti. Harus dilestarikan."

Gama mengangguk-angguk. Setuju dengan pernyataanku. Cowok itu tersenyum. "Hmm, ternyata Bimantara memang butuh seorang Gemi untuk menjaga sarana dan prasarana sekolah."

"Haha," aku tertawa sarkas. "Kamu ngeledek ya?"

Gama menggeleng. "Enggak. Beneran. Cuma heran aja masih ada yang peduli sama perihal isi mading. Sementara grup kelas dan angkatan udah lebih canggih, semua informasi bisa dicari, klik link link dan tinggal diunduh. Para guru bahkan keasyikan tuh, dikit-dikit bikin pengumuman di Whatsapp, kayak candu gitu, Gem."

Aku tergelak pelan. Tidak masalah. Yang penting komunikasi menjadi lebih mudah, cepat dan praktis. Toh era majalah dinding sudah lewat, tapi setidaknya nilai Try Out satu angkatan tetap terpasang di mading lebih dulu sebelum di-share secara elektronik di grup angkatan. Bagaimanapun tanda tangan dan cap basah itu bukti otentik sebelum dikonversi ke dalam barcode yang dibubuhkan di dokumen elektronik.

"Para baby boomer dikasi smartphone jadinya agak berlebihan," ucapku.

"Jangankan kaum baby boomer. Milenial X sama Y juga sama, Gem. Contohnya orang tua murid."

Aku menahan tawa. "Aku nyerah kalau udah bahas grup chat antar orang tua murid dan wali kelas."

"Parah banget kan ya?" Dua mata Gama berbinar ketika senyumnya melebar dan menjadi tawa yang terdengar renyah di telingaku.

"Masuk kelas yuk?" ajak Gama. Aku mengangguk.

Berjalan bersama Gama di sepanjang koridor sekolah bukanlah hal baru buatku. Sejak lima bulan lalu, Gama sudah dekat denganku. Gama Satya Adinata adalah siswa pindahan di Bimantara dan aku adalah manusia beruntung yang disapa pertama olehnya di depan papan mading yang baru saja kami tinggalkan tadi.

Waktu itu Gama cuma bertanya mengenai eskul yang berkaitan dengan potret memotret. Demi apapun, Gama itu senang memotret. Baginya, menangkap momen adalah kegiatan paling membuatnya bahagia. Kamera adalah barang kesayangannya. Dari sanalah aku menjelaskan bahwa mading ini secara resminya dikelola oleh eskul jurnalis dan atas persetujuan kepala sekolah. Masih kuingat jelas wajah antusias Gama ketika kukatakan di eskul jurnalis tentu menerima hal yang Gama senangi. Yakni memotret objek ketika kami butuh data dukung artikel, atau ketika meliput orang atau lembaga, semacam itu.

Tersimpan Di Langit BiruWhere stories live. Discover now