10. It Was Good(bye)

175 55 47
                                    




Gama meraih tangan Mira, berdiri dan membawanya berjalan pergi. Nesya menghadang mereka dan berkata, "Gam, di lantai bawah ada Elea dan pacarnya, ada Rusdi, Timothy dan Yanda. Dan kayaknya di parkiran ada yang nyusulin kami juga."

"Kenapa gak bilang kalian ke sini?" tanya Gama.

Nesya langsung kikuk. "Ehh itu, mendadak. Ada sesuatu yang mau kami siapkan untuk kejutan di puncak acara... jadi mmm..."

Melihat raut wajah Gama, Nesya langsung menghela napas dan akhirnya gadis itu tersenyum penuh pengertian. "Aku halangin sebelum mereka naik ke lantai tiga, kalian bisa turun pake tangga yang satunya."

Mereka saling pandang. Ada semacam bahasa yang tak dilisankan di antara Gama dan Nesya. Cukup melalui tatapan maka muncul pemahaman. Gama mengangguk dan mengajak Mira turun bersamanya. Aku mengikuti langkah mereka. Ku sempatkan bertatap mata dengan Adora Nesya. Gadis itu tidak seterkejut tadi, ekspresinya sudah lebih normal, walaupun jelas kulihat dia sangat tertarik melihat diriku dan Mira bergantian.

Malam itu aku menyadari satu hal, mereka memang dipertemukan di banyak keadaan untuk sesuatu yang lebih dalam. Sebab terlalu banyak kebetulan-kebetulan yang menerpa mereka, seolah kehidupan ingin menegaskan bahwa Gama dan Nesya memang ditakdirkan untuk satu sama lain.

..


Aku tidak tahu apa yang membuat Nesya membantu kami keluar dari Bimantara dengan aman malam itu. Tapi apa pun alasannya, aku sungguh-sungguh bersyukur, tidak perlu melalui serentetan tanya dan drama sesudahnya. Bagaimana pun anak-anak Lensa cukup mengenal diriku sejak kelas sepuluh, sebab aku diketahui sebagai karib yang menempel pada Syifa dan Kafka sejak lama.

"Nanti saya cetak foto kalian. Secepatnya," janji Gama ketika pamit setelah mengantar aku dan Mira.

Aku mengangguk dan mengulas senyum. "Makasih, Gam."

Malam itu, adalah malam renungan bagiku. Sebab apa yang hendak Gama lakukan ketika di atap sekolah menghantui menit-menitku tanpa ampun.

Apa yang mau Gama lakukan tadi? Dan... kenapa?

Hatiku setengah berharap bahwa Gama memiliki rasa yang sama atau setidaknya menyadari aku. Tapi interaksinya dengan Nesya membuat harapan itu lesap. Komunikasi mereka dengan tatap mata itu tampak dalam, hanya mereka berdua saja yang paham. Bukankah kesannya aku ini sahabat yang tidak tahu malu? Berani mengusik dan menginterupsi mereka yang sedang berdekatan? Adora Nesya tidak marah atau tampak cemburu. Apa menurut Nesya aku bukan gangguan? Apa Nesya memang sangat pengertian dan meyakini bahwa aku dan Gama hanyalah sebatas teman?? Atau karena bagi Nesya aku ini bukanlah ancaman?

Gama... sejak ada dia hari-hariku jadi sulit. Meski bukan kali pertama aku punya sesuatu yang tidak bisa ku bagi dengan siapa-siapa, tapi perasaan yang aku alami ini senormal remaja pada umumnya. Andai Syifa dan Kafka tahu -sejak awal- mungkin interaksi Gama dan Nesya tidak ada. Mungkin.

Aku tertawa pelan. Apa sih aku ini? Mengkhayal yang tidak-tidak. Untuk apa? Apa yang aku harapkan? Aku tidur larut malam, membawa beratus-ratus khayalan andai begini, andai begitu. Yang pada akhirnya, berujung ketiadaan. Pagi datang teramat cepat, menyodorkan realitas tak menyenangkan padaku. Realita yang menghantamku dengan kilat ketika aku memandangi kotak istimewa -yang memang aku persiapkan dari jauh hari- di atas meja belajarku.

Alasan kenapa Nesya berada di atap gedung Bimantara kemarin malam pun terjawab. Oleh pemahamanku sendiri. Hari inilah jawabannya. Satu hari sebelum perayaan ulang tahun Lensa adalah hari ulang tahun Gama. Hari istimewa itulah yang sedang Nesya persiapkan. Nesya dan semua yang berdiri di sisinya, mendukung penuh hingga perjuangan paling maksimal. Membuatku sadar, apapun usaha manusia untuk mengusahakan nasibnya, takdirlah yang menjadi porosnya kehidupan. Mutlak, tidak bisa didobrak.

Tersimpan Di Langit BiruWhere stories live. Discover now