8. Jealousy

194 55 35
                                    





"Aku gak bisa sembarangan cerita ke orang gitu aja, Gam. Aku bukannya gak menganggap kalian temanku."

Ini hari ketiga setelah ulang tahunku berlalu. Syifa secara ajaib tidak melihat maupun mendengarku. Bahkan tempat duduknya pun sudah pindah ke belakang. Sementara Nevan yang duduk di sampingku. Aku tahu seharusnya aku langsung menemui Syifa dan menjelaskan serta meminta maaf, tapi tiap kali aku ingin menghampirinya, Syifa selalu tampak sibuk mengobrol dengan teman yang lain. Sementara ketika bukan jam pelajaran, Syifa akan ada di ruang Lensa atau ke kantin bersama Nesya.

"Syifa bukan orang sembarangan kan?" tanya Gama. Saat ini, hanya Gama yang menemaniku di atap.

Kupandangi langit di atas kami, suasana di atap tidak pernah terasa sesuram ini ketika aku dan Syifa baik-baik saja.

"Saya bukannya mau menghakimi. Tapi menurut saya, Syifa marah karena dia kaget banget ternyata sahabatnya punya kembaran," ujar Gama.

"Cuma sodara kembar apa yang ha—"

"Jelas beda kan?" Gama memotong ucapanku. "Kalau kamu punya kakak atau adik tapi Syifa baru tau, mungkin Syifa gak permasalahkan. Tapi ini saudari kembar, Gem. Kembar itu artinya serupa, sama, walau kalian individu yang berbeda. Tapi Syifa—dan saya yakin mayoritas orang lain juga—beneran kaget begitu tau ternyata wajah, visual dan fisik orang yang jadi sahabatnya bukan hanya ada satu, melainkan dua. Apalagi dia udah sahabatan lama sama orang itu."

"Ayah aja gak mengekspos Mira sembarangan. Bahkan di rumah sakit, Mira check up selalu sama tenaga medis yang sama. Gak pernah ganti orang. Karena Mira gak bisa langsung ketemu orang asing. Orang-orang selalu menilai seenaknya."

"Gem, emangnya kamu yakin Syifa bakalan seenaknya? Kamu lihat saya gimana, Kafka gimana, apalagi Syifa. Iya kan?"

"Tapi aku gak suka tatapan mengasihani dari orang-orang, Gam. Sekalipun gak ada niat jahat, aku gak suka."

"Saya paham. Itu hak masing-masing untuk sejauh mana mengizinkan orang untuk tau soal kamu. Saya pribadi juga begitu," ungkap Gama. "Emang ada hal-hal sensitif yang gak ingin kita bahas sekalipun sama orang terdekat kita."

Aku setuju. Dari awal rasa-rasanya Gama itu wujud nyata manusia paling pengertian. Peduli, bertanya, ingin tahu, tapi tak menuntut penjelasan. Berbeda dengan Syifa, gadis itu bentuk kepeduliannya memang tinggi. Tahunan berteman denganku, barulah dia tidak terlalu ngotot. Syifa jarang memaksa aku menjelaskan, tapi sering memancingku, aku tak pernah lengah. Dan Syifa tidak pantang menyerah. Kurasa masalah Mira tempo hari adalah batasnya.

Pintu atap terbuka, aku dan Gama serempak mendongak. Kafka muncul membawa tiga minuman kaleng. Diberikannya masing-masing untukku dan Gama. Kafka tahu aku tidak nyaman ke kantin, selain tiga minuman kaleng, Kafka juga membawa beberapa bungkus snack dan roti.

"Jadi," ujar Kafka sambil meneguk kalengnya, "sebenarnya Syifa gak marah-marah amat. Merajuk dikit aja sama lo, Gem."

"Dia sampai pindah tempat duduk, Ka. Pasti kecewa banget," kataku.

Kafka menghembuskan napas. Dia bukan tipe orang yang ahli bicara masalah serius, selama ini pembawaan Kafka memang lebih sering diselingi bercanda. Sikap nyelenehnya itu cuma bisa bebas diaplikasikan ketika bareng Gemi atau anak-anak Lensa. Kalau sama Syifa tidak bisa bersikap tengil terlalu jauh, Syifa galak. Tapi Kafka sayang bukan main. Makanya, Syifa yang galak tapi sangat sayang pada Gemi ibarat pelengkap buat Kafka. Bercanda sama Gemi kadang bikin Syifa jadi luwes juga.

"Gue juga masih kaget sih, Gem. Jujur, beneran gak pernah nyangka. Lo rapi. Padahal kita nyaris tiap hari main bareng. Tapi gue gak marah kayak Syifa, mungkin karena Syifa terlalu sayang sama lo, Gem. Jadi gak terima kalau ada hal penting tentang lo dan dia gak pernah tau," jelas Kafka.

Tersimpan Di Langit BiruWhere stories live. Discover now