Epilog

339 51 42
                                    







[ G A M A ]

Semoga kali ini bukan mimpi. Lagi-lagi hatinya mencetus seperti itu. Sudah lebih dari selusin kali dirinya hanya bergeming tatkala menemukan sosok itu dalam jarak pandang. Gadis itu menoleh ke kanan kiri, depan belakang. Langkah kakinya yang tadi santai kini berubah menjadi agak tergesa dan tanpa jeda menuju tempat yang ramai. Perasaan diikuti seseorang yang mungkin sudah dirasakannya bukan cuma sekali dua kali. Dua bulan terakhir, ia yakin gadis itu sadar sedang diperhatikan seseorang. Entah ini mimpi atau nyata, ia yakin gadis itu sudah tahu bahwa dirinya sedang diawasi dari kejauhan.

Ini keterlaluan! Ia menggeram dalam hati. Mau sampai kapan sih begini??!

Angin berhembus kencang meniupkan surai hitam si gadis yang hari ini dibiarkan terurai. Tetesan-tetesan kecil mengenai dirinya, langit kelabu semakin gelap. Jika gadis itu tidak bergegas, dipastikan akan basah kuyup kehujanan. Tapi tampaknya si gadis enggan meneduhkan diri atau berlari, malahan sengaja berjalan ke tepi jalan di seberangnya, yang mana tandus, tidak ada pepohonan sama sekali. Di beberapa area tepi jalan, beberapa kuntum rumput tampak layu, warnanya coklat kehitaman sudah mengering sebab kemarau panjang bulan-bulan sebelumnya. Kini rumput mati itu mulai basah, ditetesi kucuran hujan dari langit.

Dia tersenyum. Sebentar, ini persis sama dengan perasaan hatinya. Sudah nyaris mati, tapi masih disirami.

Rintik yang memercik kini berubah lebih cepat dan dalam waktu singkat berubah menjadi curahan air deras. Si gadis basah kuyup. Surainya melekat pada tempurung kepala. Sembari memeluk tas di depan dada, agak menggigil menahan rasa dingin. Bibirnya masih melengkung tipis, ia tidak kemana-mana. Tetap bergeming dalam posisi seperti itu. Menjejakkan kedua kakinya tegak lurus di atas rerumputan mati. Membiarkan tubuhnya diguyur hujan. Tapi kenapa? Kenapa dia seperti itu? Si gadis masih tersenyum dan seolah sedang menunggu....

Sial! Sepertinya memang sudah ketahuan! Dirinya sudah ditunggu!

Tap! Tap!

"Kamu-"

Gadis itu tersenyum tipis. Sama sekali tidak terganggu dengan kondisi dirinya yang sudah basah total.

"Kamu sengaja??!"

Senyum itu semakin melebar. Akhirnya cctv-hidup dengan dua kaki dan dua tangan ini muncul juga di hadapannya. Tidak sia-sia ia relakan setumpuk berkas hancur dan basah dalam tasnya, -yang padahal baru ia gandakan di mesin fotocopy tadi pagi.

"Kamu sengaja kan?" Kembali pertanyaan itu disuarakan. Kali ini dengan volume lebih keras melawan hingar bingar derasnya hujan.

"Iya, aku sengaja. Biar kamu keluar," ia menjawab.

Terdengar decak kesal "Gak gini caranya, kalau kamu sakit gimana??? Aku gak punya payung, jaketku juga basah-"

"Apa kabar?"

......

Desau angin bercampur dengan suara gemericik rintik memenuhi indera pendengarannya. Namun si lawan bicara yang tadi kalut mengomel telinganya sedang tertahan dalam ruang dan waktu, terperangkap pada beberapa jenak sebelumnya. Hanya terus terngiang-ngiang dengan satu kalimat pertanyaan super klise. Apa kabar?

Entah berapa lama telinganya bisa kembali ke masa sekarang. Dua tatap manik matanya pun seolah terkunci pada sosok di depannya -yang sedang diguyur hujan sampai basah kuyup. Kerlingan mata, sorot mata dan kuluman senyum yang tampak menggemaskan serupa perangkap, yang menarik dirinya ke dalam pusaran badai paling buas. Kangen. Rindu. Lega. Senang. Segala macam emosi bahagia membuncah kian hebat dalam dirinya. Dan mungkin hanya si pemasang perangkap pula yang sanggup menariknya keluar dari kungkungan badai emosi.

Tersimpan Di Langit BiruWhere stories live. Discover now