3. Another G

204 59 28
                                    




Di gedung tempat kegiatan belajar dan mengajar Bimantara, ada satu tempat yang sering jadi tempatku menghabiskan waktu. Untuk menulis, membaca, mencari inspirasi, mencari angin segar, untuk apa saja termasuk merenung. Bukan, bukan perpustakaan. Aku bukan manusia yang sebegitunya terikat dunia literasi atau jurnalistik sampai menjadikan perpustakaan adalah tempat terbaik untuk berpikir dan merasa.

Tempat itu adalah lantai paling atas di bangunan ini, di atas kelas dua belas, melalui tangga sempit di ujung koridor yang kelas-kelasnya tidak dipakai dan isinya bangku-meja yang rusak. Tangga itu menuju ke bagian teratas. Sky roof. Dulunya sempat dijadikan garden roof oleh pihak sekolah, untuk kepentingan kegiatan belajar pada waktu outing class, namun rencana ini ditentang oleh sebagian besar dewan sekolah. Konsep outing class nenurut para oposisi tersebut adalah tamasya yang mengedukasi murid berupa kunjungan ke perusahaan, pabrik, instansi atau lembaga semacamnya. Garden roof tentunya masih tergolong area di dalam sekolah.

Alhasil inilah tempat yang paling sering aku kunjungi ketika ada jam kosong. Bersama Syifa dan Kafka tentunya. Dan sekarang bertambah, Gama. Kami berempat sering menghabiskan waktu di sini. Menikmati angin, pemandangan dari atas, bahkan sinar matahari. Rasanya menentramkan jiwa. Tentu saja murid lain juga pernah ke sini, tapi tidak sesering kami. Kebetulan, kelas Kafka paling dekat dengan lokasi. Kafka-lah yang membawa beberapa kursi dan meja ke atas sini, sehingga bisa kugunakan untuk menulis atau menaruh minuman.

Sore setelah ujian kenaikan kelas selesai, aku dan Gama tiba di sky roof lebih dulu, sementara Kafka dan Syifa berniat ingin membeli makanan dan minuman sebelum menyusul. Aku tidak protes, karena ketika berdua dengan Gama, aku merasakan perasaan hangat yang tidak bisa terjelaskan. Rasanya nyaman dan membahagiakan. Aneh.

"Gem, saya udah lama bertanya-tanya."

Gama duduk di depanku, dua tangannya sibuk mengotak-atik settingan kamera. For your information, aku dan Gama lebih senang duduk di lantai semen dibanding di kursi. Lesehan lebih nikmat, apalagi sampai tiduran, menikmati lukisan paling indah di muka bumi ; langit. Ya, ini kesamaan kami yang lainnya. Kami suka langit dan semua benda langit.

"Soal apa, Gam?"

"Soal cita-cita," jawab Gama.

"Oh." Aku terdiam sesaat. Setelah ku ingat kembali, perihal satu ini memang sangat jarang aku pikirkan. "Biar ku tebak, kamu mau jadi orang sukses di balik layar?"

Gama mengangguk. "Pengen jadi photographer yang motret hal-hal menakjubkan. Kayak motret rimbanya hutan, lahar gunung meletus, atau memotret para atlit dunia. Pemain sepak bola, misalnya."

"Alasannya?" pancingku.

"Seru. Dan menantang. Butuh ketangkasan dan ketepatan waktu untuk menangkap moment epic gerakan para atlit. Dan butuh keberanian untuk masuk hutan, naik gunung atau masuk gua. Saya suka yang seperti itu," ungkap Gama.

Sejenak, matanya menerawang jauh ke langit. "Kamu Gem? Di masa depan nanti kamu mau jadi apa?"

Nah giliranku sekarang. "Aku belum kepikiran."

"Masa sih? Orang kayak kamu. Yang rajin belajar, teratur, teliti dan tertib aturan, belum kepikiran mau jadi apa?"

Hatiku menghangat mendengar penuturan Gama. Ternyata Gama peduli dan perhatian. Tapi aku pun demikian. Syifa dan Kafka juga. Ini normal dalam pertemanan bukan? Tapi karena aku mendengarnya dari Gama, rasanya jadi lain. Terdengar istimewa.

"Masih kupikir-pikir, Gam." Hanya itu yang bisa kukatakan padanya. Dan itu sebuah kejujuran.

"Oke. Cita-cita emang harus dipertimbangkan dengan serius kan. Satu lagi," sela Gama, "kamu, Gem."

Tersimpan Di Langit BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang