6. Hambatan

170 59 34
                                    




Harusnya aku tidak datang ke sekolah. Sebab pemandangan di sekolah bukan hal yang baik untuk kusaksikan. Syifa yang sedang terlonjak senang lantaran akhirnya Gama memberikan Nesya bunga. Begitu pula Nesya. Rekaman keduanya bertukar bunga menyebar cepat. Viral di media sosial. Dua insan yang sangat dicintai dan didukung setengah mati untuk segera bersatu. Nesya yang tampak malu-malu dan Gama yang agak kikuk tampak menggemaskan di depan kamera. Semua moment itu terbingkai sempurna dalam Lensa.

Apa yang akan dilakukan Syifa dan Kafka selanjutnya? Aku tidak tahu dan tidak mau tahu. Ku hirup napas lebih dalam dan mulai membuka buku pelajaran hari itu, berusaha berkonsentrasi dengan materi. Sekuat tenaga agar mengurung diriku dari hingar bingar sekitar.

"Gem!" panggil Syifa yang entah sejak kapan sudah berada di depan mejaku. "Gem ayo ke kantin."

"Gak, Fa. Aku gak laper," tolakku.

"Yee siapa yang mau ngajak makan!" sungut Syifa. "Kita mau bikin testimoni Lensa di hari valentine."

Kenapa harus di kantin kalau begitu?

Seakan mendengar pikiranku, Syifa menjelaskan lebih detail. "Bawa-bawa setumpuk coklat sama bunga, enaknya di area kantin. Kalau di area lain kena protes staff sama guru. Gue udah wanti anak-anak sih biar gak ada sampah berceceran. Yuk ah, Gem. Buruan kita ke sana."

Syifa mulai menarik lenganku. Aku tepis tangannya dengan pelan. "Aku gak mau, Fa!"

Syifa tertegun. Mungkin sorot mataku terbaca olehnya. Mungkin karena penolakanku yang dengan berlebihan.

"Lo kenapa sih??" tukas Syifa.

"Gak kenapa-napa."

"Akhir-akhir ini gue perhatiin lo jadi lebih banyak diem, sering nolak ajakan gue, padahal gak sibuk apa-apa tapi lo kayak males banget gabung sama gue dan anak-anak."

"Ya masa aku harus ikutan terus? Sesekali pengen sendiri, Fa," ujarku.

"Kenapa???" tuntut Syifa. "Lo ada masalah apa? Atau gue ada salah sama lo?"

"Gak ada, Fa. Udah, aku cuma lagi ingin di kelas."

Syifa tidak puas dengan jawabanku. "Lo tau, Gem. Sikap lo aneh tau gak. Nyebelin. Gak asyik."

Aku mengatupkan rahang. Kutahan emosi yang entah kenapa seakan datang dengan jumlah banyak. Padahal Syifa hanya bingung dengan perubahan mood dan sikapku. "Ya sorry kalau aku gak asyik."

Syifa tampak tidak rela dengan kalimatku. Dia menggeleng pelan. "Suram. Lo suram tau gak."

"Udah?" Aku menatapnya. "Sana gih ke kantin. Lensa nungguin kan? Kamu cuma buang waktu, Fa."

Syifa belum beranjak, masih memproses perkataanku padanya. Sebelum ini, aku tidak pernah bersikap dingin pada Syifa. Ini kali pertama aku memperlakukan Syifa seperti ini.

"Gemi!" Seseorang menghampiriku. Membawa tablet tipis di tangannya. "Gem, ada lomba karya tulis ilmiah nih. Lo ada waktu buat persiapan gak?"

Nevan. Cowok yang sering bertukar materi kepenulisan selama di Fokus. Aku menyambar kesempatan ini dengan segera.

"Temanya apa kali ini, Van?"

"Pengaruh otonomi daerah terhadap ekonomi kreatif dalam masyarakat."

Dari ekor mata, kulihat Syifa masih berdiri dan memandangiku lurus-lurus. Aku mencoba mengabaikan gadis itu.

"Oke Van. Yuk kita cari tempat yang lebih mendukung. Aku gak bisa fokus di sini."

Aku berdiri. Nevan menyadari ada Syifa di dekatnya, cowok itu mengangguk dan tersenyum sopan kemudian beranjak mengikutiku.

Tersimpan Di Langit BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang