17. Sinkronisasi

149 50 52
                                    







...

Suasana di dalam mobil itu dingin. Gemi menatap ke samping, sengaja. Tidak ingin memulai percakapan apapun dengan manusia yang sedang menyetir di sebelahnya. Haka pun demikian, menatap lurus ke depan, fokusnya memang pada jalanan, namun suasana hatinya tidak nyaman dan terus-terusan tertuju pada Gemi.

"Gem," panggil Haka setelah lebih dari dua puluh menit mereka tenggelam dalam lengang.

Gemi menoleh, kaku.

"Udahan ya marah-marahnya?" pinta Haka.

Gemi mendengus.

Haka menghela napas.

Mereka sampai di tempat tujuan. Sebuah lokasi yang dipilih jauh-jauh hari. Gemi mencoba menetralkan kembali emosinya. Hari ini mereka berdebat mengenai dua hal. Janji pemotretan dengan salah satu staff Nature Lens dan acara perjamuan di kediaman keluarga besar Haka.

Pertengkaran kecil sudah sering mereka alami. Makan malam di antara dua keluarga mereka akhir pekan bulan lalu menjadi hal yang harus Gemi ingat untuk seumur hidup. Bahkan kini, menjadi beban pikirannya. Bagaimana bisa, Haka dan keluarganya yang berdarah biru, terpandang dan jelas-jelas terhormat itu nantinya bisa memaklumi kondisinya? Gemi berani bertaruh, Kanjeng Maminya Haka yang ekspresinya selalu datar itu diam-diam keberatan dengan pilihan putranya. Gemi tersenyum tipis. Gemi sendiri selalu merasa dirinya tidak se-istimewa itu untuk Haka perjuangkan.

"Kamu mikirin apa?" tanya Haka.

Satu tangan Haka terulur padanya. Pelan Gemi raih tangan hangat itu. Heran, bagaimana bisa dulu dia tidak berpikir panjang dan menerima Haka?

"Ka, kenapa kita bisa sama-sama sekarang?" guman Gemi.

Alis Haka terangkat. "Kamu lagi memikirkan ulang hubungan kita?"

"Apa yang bikin kamu seyakin ini sama aku, Ka?"

Haka menatapnya. Di benaknya, kalimat pertanyaan Gemi berulang seperti rekaman suara. Haka bukannya tidak pernah memikirkan hal ini. Justru karena dia terlalu sering memikirkannya. Meyakinkan diri dan akhirnya mencoba. Haka berusaha. Bukankah dalam cinta dibutuhkan perjuangan?

"Ka," panggil Gemi dengan lembut. "Kayaknya kita kecepetan memutuskan deh."

Kalimat ragu dari Gemi itu membekukan perasaan Haka. Sekat tak kasat mata itu terlampau dalam rupanya. Terlalu cepat kah?

Haka menggeleng. Menurut Haka tidak. Mau sekarang atau nanti sama saja. Perasaan Haka tetap sama. "Kalau nunggu siap, kita gak akan siap kan?"

Gemi tidak menjawab.

"Gemi." Haka meraih tangannya. "Kalau kamu gak suka, aku batalkan fotonya—"

"Bukan," potong Gemi. "Bukan batalkan fotonya. Cari jasa photografer lain. Di sini banyak. Gak usah jauh-jauh sampai keluar kota segala."

Ekspresi Gemi saat ini bukan hal yang Haka harapkan. Cowok itu mengalah dan mengangguk. "Oke."

...


Waktu Haka melamarnya, Gemi yakin Ayahnya sudah tahu. Ayah dan Haka cukup dekat. Gemi pernah nyaris menolak pertunangannya dengan Haka, sebab ia sendiri bingung. Selama ini Haka dan Nathan itu sudah seperti sahabat, teman dekat, kerabat. Gemi nyaman dengan manusia seperti mereka. Ia pun sadar kebaikan-kebaikan Haka selama ini karena perasaan sayang yang tinggi.

Tersimpan Di Langit BiruWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu