19. Kembali

223 52 32
                                    



Bukan tidak berani, bukan bodoh, apalagi jahat. Hanya saja, keadaan memburamkan perasaan yang sesungguhnya.

....






[  G A M A  ]

Pembatalan itu terjadi secara tiba-tiba. Tanpa sebab. Atau memang Gama tidak tahu penyebab pastinya apa. Yang jelas, ketika menemui Haka di lobi kantor, ningrat berdarah biru itu tampak muram dan menjabat tangannya dengan agak kaku.

"Saya kebetulan lewat, jadi sekalian mampir. Lebih enak juga bicara langsung. Saya cancel, Gam. Mohon maaf."

Dan seolah tidak punya waktu banyak, Haka pun langsung pamit. Dikejar meeting katanya. Tapi ngapain singgah dan menunggu Gama kalau begitu? Dan ketika Gama menemukan sebuah album foto berisi beratus lembar potrait langit, wajahnya langsung pucat pasi. Ditambah, ketika menemukan sepucuk surat, tangan Gama langsung gemetar. Gama sangat mengenali tulisan tangan itu. Dulu ia sering meminjam buku catatan Gemi yang teramat rapi untuk ia salin dan pelajari.

"Jadi.... Haka ke sini mau nganterin ini? Lalu batalin jasa fotonya?" guman Gama.

Pikiran dan perasaannya berkecamuk, campur aduk, kusut. Degup jantungnya mulai saling berkejaran, berpacu dalam kegelisahan yang mengusik ketenangan. Tidak percaya bahwa yang baru saja ia lihat ini milik Gemi sampai sebuah tepukan heboh Kafka mengejutkannya dari belakang.

"Anj—" Tidak. Bukan saatnya untuk meledak dalam emosi. Gama mengatupkan kembali rahangnya. Cengiran Kafka memang bukan hal yang ingin ia saksikan tapi pernyataan si kunyuk ini yang ingin ia dengar.

"Lho, Gam? Itu udah lo liat???"

Iris Gama bergulir ke album foto yang tengah ia genggam.

"Tangan lo tremor parah," selidik Kafka, seketika matanya melebar. "Anjay! Lo udah baca isinya??? Udah liat???"

Setitik terang terbentuk dalam benak Gama. Ternyata Kafka yang membawa barang ini ke sini. Gama cukup kenal sifat Kafka yang mengkhawatirkan dalam urusan kelupaan dan ketidaksengajaan.

"Ini barang penting yang mau lo kasih ke gue, Ka?"

"Yup! Penting. Makanya gue gak bisa omongin lewat telpon. Enakan langsung. Itu—"

Kata-kata Kafka selanjutnya seolah terdengar dari jauh, sayup-sayup teredam hingga hilang total. Gama terpekur dalam diam. Larut dalam perasaan-perasaan yang kian merajam.

"—kado ulang tahun dari Gemi, Gam. Tapi udah berapa tahun yang lalu. Kayaknya gak sempet dikasih ke elo, Syifa sama gue juga baru tau- woy Gam? Lo mau kemana—"

Secepat kilat Gama melangkah keluar lobi, sambil berjalan ia buka risleting ransel kecilnya, menyimpan album foto itu di tempat yang aman. Mengabaikan teriakan Kafka di belakangnya. Barang penting? Penting apanya? Ini lebih dari itu. Ini berharga, spesial, istimewa dan semua padanan kata yang serupa.

Gama tidak tahu takdir macam apa yang sedang digariskan dalam hidupnya. Pertemuannya dengan Haka, dirinya yang masih di sini-sini saja seolah tertahan sesuatu, kembalinya nama unik yang kekal di ingatan dan terakhir adalah munculnya album foto ini. Sekumpulan potrait langit beserta tulisan tangan Gemi. Album foto itu sudah menjadi sejarah tapi tetap tersampaikan dengan cara yang tak biasa, di detik ini, dengan emosi yang terekam abadi dalam lensa. Yang memang sengaja diabadikan dan diniatkan Gemi untuk suatu moment. Namun tertunda. Seolah ia butuh perjalanan panjang untuk sampai pada tujuannya. Untuknya! Untuk Gama seorang!

Tersimpan Di Langit BiruWhere stories live. Discover now