chapter 2

1K 170 22
                                    

"Kakak dipasangin sama Kak Yedam?"

Junghwan berlari ke arah ruang tamu untuk menatap Haruto, meninggalkan tempe yang sedang digorengnya.

"Awas gosong." gumam Haruto, dengan mata yang tetap terpaku pada bukunya.

"Kakak beneran sekelompok sama Kak Yedam? Kak Yedam yang itu?"

Tidak lagi bisa fokus karena ocehan Junghwan, Haruto mendongak lalu menatapnya dengan mata menyipit. "Emangnya ada Yedam yang lain? Udah sana lanjutin gorengnya."

Masih belum percaya, Junghwan kembali ke dapur sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak bisa dipercaya, terus Kak Yedam mau, gitu?"

"Heh!" tegur Haruto tidak terima.

"Maksud gue tuh, bukannya Kak Yedam itu selalu sama Kak Yoshi? Kenapa kali ini mereka mau dipisahin?" Junghwan terus bertanya-tanya sambil meniriskan tempe yang sudah matang.

"Udah sih, nggak usah dipikirin." Haruto memasukkan bukunya ke dalam ransel, lalu melirik keranjang di depannya yang penuh dengan roti. "Ini kenapa jadi banyak?"

Junghwan muncul lagi dari dapur sambil membawa sepiring tempe dan telur dadar, lalu duduk di samping Haruto. "Stok yang kemarin abis, terus masih banyak yang nanyain, jadi Bu Lisa pesen seratus."

Haruto mengangguk, lalu memerhatikan Junghwan yang sekarang sedang menyendok nasi ke piringnya.

Sudah setahun ini, Junghwan selalu menyetok roti buatan Tante Yeri, tetangga mereka, ke kantin sekolah. Memang hasilnya tidak seberapa, tapi bisa untuk membantu membayar kontrakan dan menabung untuk keperluan-keperluan mendadak.

Dulu, Haruto pernah melarang Junghwan untuk berjualan roti, karena status mereka sebagai anak-anak penerima beasiswa sudah cukup untuk menjadi bahan ejekan, apalagi ditambah julukan penjual roti.

Tapi, Junghwan melakukannya dengan senang hati, demi menghemat uang peninggalan orangtuanya yang sudah berkurang.

Dan untuk anak seusianya, Junghwan benar-benar dewasa, dia bahkan tetap tegar saat kedua orangtua mereka tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas tiga tahun lalu.

Tidak pula marah saat si penabrak dengan angkuhnya menganggap bisa membayar lunas semuanya dengan menanggung hidup mereka hingga SMA.

Tiga tahun lalu, orang yang menabrak orangtua mereka mendaftarkan mereka ke SMA ini. Haruto dan Junghwan pun menerima beasiswa silang, biaya sekolah mereka disubsidi oleh siswa-siswi yang mampu.

Selama hampir dua tahun setelah tragedi itu, Haruto dan Junghwan memutuskan untuk mengontrak rumah sederhana dan tinggal berdua saja.

"Kenapa ngeliatin gue, Kak?" tanya Junghwan yang menyadarkannya.

Haruto menggeleng sambil meraih gelas, lalu meneguk airnya sampai habis. "Pulang sekolah, lu latihan?"

Junghwan menggeleng. "Nggak, gue udah bilang sama pelatih untuk latihan sebelum masuk sama pas istirahat aja."

Haruto mengangguk paham, walaupun Junghwan setahun lebih muda darinya, tapi adiknya itu benar-benar sangat membanggakan.

Selain tampan dan berprestasi dalam olahraga, dia pun disukai semua orang. Tidak seperti Haruto yang lebih suka menyendiri, Junghwan sangat supel sehingga dia memiliki banyak teman.

Itu satu-satunya hal yang tidak bisa Haruto pelajari, dan dia menyerah melakukannya semenjak kedua orangtuanya meninggal.

Sekarang, mereka mungkin orang tidak mampu. Tapi, satu hal yang Haruto tahu, dia bisa mengubah nasibnya dengan caranya sendiri.

I For You - [harudam]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt