Bagian 2 : Pengganggu

5.5K 631 24
                                    

Tidur Viora terganggu akibat Nina yang menggedor pintu kamarnya. Inilah membuat Viora segera memisahkan rumah dari orang tuanya karena tidak ingin setiap harinya diganggu jika ia masih ingin tidur sampai siang.

Meski ia berteriak menyuruh Nina berhenti mengganggunya, tapi adiknya itu tetap menggedor pintunya membuatnya berteriak frustasi.

"Kak! Di luar ada tamu! Katanya temen kakak, namanya Saren!"

Sontak setelah mendengar perkataan Nina, Viora terbangun sepenuhnya. Kini tidak lagi mendengar suara Nina membangunkannya. Melainkan mendengar suara percakapan Nina dan Saren. Rumahnya memang kecil, apalagi letak kamarnya dekat ruang tamu sehingga bisa mendengar suara mereka.

Segera ia melompat turun dari ranjang, kemudian keluar dari kamar. Melotot tajam pada sosok Saren yang tersenyum cerah padanya.

"Kak! Kok gak pake celana?!" Pekikan Nina membuat Viora tersadar jika ia hanya mengenakan celana dalam juga baju tanpa lengan.

Segera ia kembali masuk ke dalam kamar. Lalu mengacak rambutnya frustasi. Kemudian terburu-buru mengenakan celana juga jaket untuk menutupi tubuh bagian atasnya. Cepat-cepat keluar dari kamar karena tidak ingin Saren berduaan dengan Nina. Tau tabiat pria itu.

Jangan sampai Nina digoda pria itu!

"Ngapain lo ke sini?!" Viora berkacak pinggang kini berdiri di hadapan Saren. Ia melirik ke arah dapur, mendengar Nina yang sepertinya membuat minuman. "Gak usah bikinin minuman, Nin!"

"Pelit amat lu," ujar Saren cemberut membuat Viora rasanya ingin menendang pria itu.

"Ngapain sih lo ke sini?!" Viora mengulang perkataannya, kali ini lebih galak.

"Gue mau minta pertanggung jawaban lo!" ujar Saren serius kini ikut berdiri.

"Kak Vio hamilin Bang Saren?" Pertanyaan Nina menyentak keduanya. Gadis berusia dua puluh tahun itu sedang memegang nampan yang di atasnya ada secangkir teh untuk Saren.

"Apa-apaan lo? Lo pikir gue cowok. Sana lo masuk ke kamar!" sentak Viora galak. Buru-buru Nina menaruh  nampan di atas meja. Tidak lupa menyuruh Saren meneguknya dengan ramah. Kemudian masuk ke kamar.

"Gak usah lihatin adik gue kayak gitu!" tegur Viora tajam pada Saren yang memperhatikan Nina hingga adiknya masuk ke kamar.

"Gak usah cemburu Vi..." Saren segera menghindar saat Viora meraih nampan hendak memukulnya.

"Mending lo pergi dari sini!"

"Lo harus tanggung jawab!"

"Tanggung jawab apaan, kampret?!" Emosi Viora di atas ubun-ubun, rasanya ingin menjejak wajah songong Saren.

"Gara-gara lo hidung gue masih berdenyut-denyut sakit, kayaknya patah deh," Saren menggumam di akhir kalimatnya seraya mengusap hidungnya yang sama sekali tidak seperti apa yang ia katakan.

Viora memutar bola mata jengah. Lalu berdecak pelan. "Berapa duit?"

"Hah?" Saren melongo di tempatnya.

"Lo mau periksa ke dokter, kan?"

Saren mengulum bibir, berusaha agar tidak tersenyum. Ia berdehem pelan. "Temenin gue ke dokter."

"Ogah gue temenin lo ke dokter! Sejuta cukup, gak?"

Saren berdecak tidak suka. "Lo harus ikut!"

"Idih apaan sih paksa-paksa gue?!" Viora merengut tidak suka menatap Saren.

"Ya namanya tanggung jawab, lo bukan cuma ngasih duit, tapi harus nemenin gue," ujar Saren.

"Ya udah sana lo balik. Hari Senin gue temenin lo ke dokter." Viora mengibaskan tangan malas. Mengusir Saren agar segera pergi. Matanya sakit melihat pria itu. Bertahun-tahun tidak bertemu, sekalinya bertemu malah membuatnya semakin meradang.

Bittersweet Enemies Be LoversOnde histórias criam vida. Descubra agora