Bagian 6 : Teman?

3.7K 523 16
                                    

Saren masih saja tertawa karena mengingat ekspresi panik Viora, mengira dirinya benar-benar pergi dari restoran tersebut. Menoleh menatap wanita itu yang ekspresinya berkali-kali lipat dingin, enggan menatapnya. Bahkan tadi, sama sekali tidak melayangkan tangan padanya.

Pun saat ia menawarkan untuk mengantar pulang, tidak ada drama Viora yang enggan. Juga tadi mereka sempat mengantar June kembali ke kantor pria itu karena katanya tadi nebeng di temannya.

Mobil yang tadinya ramai akan celoteh June juga dirinya sama sekali tidak ditanggapi Viora. Biasanya Viora akan menegur, tapi tidak sama sekali dan Saren baru menyadarinya.

Saren menoleh sepenuhnya pada Viora saat mobil berhenti karena lampu merah. "Vi, lo marah?"

Viora hanya diam, bahkan enggan berpaling padanya.

"Itu... itu tadi June yang ajakin gue ngerjain lo. Lo... lo jangan marah sama gue aja, sama June juga dong," sambung Saren membela diri. "Vi..."

"Sekali lo ngomong gue jitak pala lo!" ujar Viora pelan, tapi penuh penekanan. Pun tidak berpaling pada Saren yang kini tersenyum. Akhirnya Viora meresponnya.

Melajukan mobilnya saat lampu berubah hijau. "Anterin gue ke rumah nyokap gue."

Saren menoleh sekilas dan Viora menyebut alamat rumah orang tuanya. Saren pun mengarahkan mobil menuju ke sana.

"Vi, emang gak mendadak?"

Viora akhirnya menoleh menatap Saren yang fokus ke jalan. "Mendadak apaan?"

Saren tersenyum manis menoleh sekilas. "Itu... masa gue ketemu orang tua lo sekarang? Pakaian gue kayak gini lagi."

"Pea! Siapa yang nyuruh lo ketemu orang tua gue?!" ujar Viora ketus membuat Saren tertawa.

Beberapa saat kemudian mereka tiba di rumah orang tua Viora, tepatnya di toko klontong milik orang tua Viora.

"Vi.."

"Apa lagi?!" ujar Viora ketus menoleh pada Saren yang menahan lengannya. Segera ia menepis tangan pria itu.

"Lo kenapa sih ketus banget sama temen?" gerutu Saren seraya mencebikkan bibir sedih.

"Emang lo temen gue?" ujar Viora sinis. Sejak kapan mereka berteman? Sebelum Saren menyahut, Viora kembali berujar, "Lo sering ledekin gue dulu. Kalau aja badan gue gak kayak gini, lo pasti gak lontarin pertanyaan itu, kan? Terus boro-boro lo anterin gue pulang, pasti yang ada lo larang gue naik ke mobil lo karena nanti bannya kempes!"

"June juga sering ledekin elo, Vi. Tapi lo anggap dia temen lo," sahut Saren. Merasa iri dengan June yang dari dulu sampai sekarang berteman dengan Viora. Padahal kelakuan pria itu sama dengannya. Sering mengejek Viora.

"Emang sering. Tapi ledekannya June gak kayak lo bikin hati gue sakit. June selalu belain gue kalau ada yang ikut-ikutan ledekin gue. Lo?" Viora terdiam sejenak menatap tajam Saren yang bungkam. "Lo ngakak pas gue diledekin banyak orang. Malah lo tambah-tambahin! Gak usah ngarep lo jadi temen gue!"

Setelah mengatakan itu Viora turun dari mobil Saren meninggalkan Saren yang terpaku di tempatnya.

***

Nina yang sedang bersantai menjaga kasir toko orang tuanya tersentak saat pintu lemari pendingin ditutup secara kasar. Melongokan kepala, ia hendak menegur pelanggan yang terlalu kasar menutup pintu lemari pendingin tersebut. Mulutnya terbuka, siap bersuara, tapi kemudian tertutup kembali saat menemukan kakak galaknya.

"Lima rebu," ujar Nina seraya menyengir pada Viora yang berekspresi dingin.

"Mama sama Abah ke mana?"

"Mereka pergi ke distributor beli barang. Kak Vio dari mana? Rapi banget." Nina meneliti penampilan kakaknya. Menggunakan celana jeans serta baju kemeja, juga sepatu. Biasanya Viora hanya menggunakan celana panjang berbahan kaos, juga baju kaos. Atau mengenakan celana di atas lutut dan juga hoodie.

"Dari rumah sakit." Viora duduk di kursi plastik, tepat di depan meja kasir.

"Siapa yang sakit?"

"Temen."

"Siapa? Bang June? Kak Nasha? Em... Kak Odit eh dia di Amerika, kan? Terus Kak Salena em dia udah pindah ke sini lagi?"

Viora mengangkat pandangannya ke arah Nina yang menyengir lebar. "Kepo banget lo!"

"Ih mereka kan temen-temen Kak Vio. Udah kuanggap kakak-kakakku juga."

"Gak ada salah satunya yang lo sebut tadi," ujar Viora malas lalu kembali fokus ke ponselnya.

Nina mengernyit. "Emang Kak Vio punya temen yang lain?" Viora hanya diam. Kakaknya itu sedang terpekur dengan ponselnya. Pelanggan masuk ke toko membuat fokus Nina pada pelanggan tersebut.

Senyumnya merekah cerah. "Bang Saren nyari apa?"

Sontak kepala Viora menegak, ia menghunuskan tatapan tajam pada Saren. "Ngapain lo ke sini?!"

"Beli dong. Ini berapa, Dek?" Saren beralih pada Nina seraya mengacungkan botol minuman bersoda yang baru ia keluarkan dari lemari pendingin.

"Lima rebu, Bang."

Saren beranjak mendekat ke arah meja kasir membayar minumannya tersebut lalu meneguknya seraya menatap Viora yang sama sekali tidak mengacuhkan dirinya.

"Jadi temen yang Kak Vio maksud Bang Saren?"

Saren mengangkat satu alisnya mendengar pertanyaan Nina, ia menatap gadis tersebut lalu menatap Viora yang melotot pada Nina.

"Bukannya lo gak nganggep gue temen Vi?" ujar Saren tertawa geli.

"Jangan-jangan Kak Vio anggep Bang Saren gebetan," celetuk Nina ikut tertawa. Mengejek kakaknya yang wajahnya kini memerah. Entah marah atau malu.

Suara orang mengucapkan salam menghentikan mereka. Sosok Pak Aji berbinar menatap Viora yang siap sedia melarikan diri.

"Eh ternyata ada Vio. Kalau jodoh emang gak akan ke mana?" sahut Pak Aji membuat Viora memutar bola mata jengah.

Saren menatap pria tersebut lalu menatap Viora yang terlihat kesal. "Maksudnya apa ya?"

"Ah itu..." Sebelum Nina menjelaskan, Viora segera menyela.

"Gue balik dulu Nin."

"Lho kok cepet baliknya? Kita udah lama gak ketemu lho Vi." Pak Aji mencegah Viora.

"Pak Aji..."

"Permisi Pak. Jangan bikin pacar saya kesal, ya?" Saren menyahut berdiri di antara Pak Aji dan Viora. Tersenyum manis menatap Pak Aji yang tercengang di tempatnya. "Saya tau perkataan Bapak tadi cuma bercanda, tapi kalau serius. Kayaknya gak bakal Pak, karena jodohnya Viora itu saya. Lelaki tampan nan gagah juga perkasa."

Saren tertawa karena perkataannya sendiri lalu menarik Viora keluar dari sana.

"Sama-sama," ujar Saren menyindir Viora yang menepis tangannya. Wanita itu menghunuskan tatapan tajam, lalu menoleh ke belakang. "Harusnya lo berterima kasih Vi. Lo bisa lepas dari aki-aki tadi. Ih lo mau dijadiin istri keempat, ya? Atau kelima? Keenam?"

Viora kembali menatap Saren yang ekspresinya horor.

"Gak ada terima kasih!"

"Gak pa-pa. Itulah gunanya temen. Eh lo anggap gue temen gak, sih?"

"Gak! Anterin gue balik!" ujar Viora ketus seraya melangkah ke arah mobil Saren.

Saren mengerjap pelan.

Tidak dianggap teman, tapi minta disuruh mengantar pulang?

Jadi Viora menganggapnya apa?

***

Supir Ren🤭😂

See you the next chapter
Salam manis dari NanasManis😉
09/10/21

Bittersweet Enemies Be LoversWhere stories live. Discover now