Bagian 4 : Kehidupan di Masa Lalu

4.5K 570 6
                                    

Lagi dan lagi tidur nyenyak Viora terganggu. Ia pikir setelah pindah dari rumah orang tuanya, tidur paginya tidak akan terganggu. Nyatanya sangat salah.

Masih pukul tujuh pagi, Mama telah menggedor pintu rumahnya. Berteriak agar ia bangun. Kenapa pagi sekali Mamanya bertandang? Apakah Mama tidak mengurus Abah? Membuat sarapan juga kopi untuk Abah? Atau ke toko untuk menjual?

Kenapa malah mengganggu tidur Viora?

Bahkan saat Viora membuka pintu, rentetan omelan segera keluar. "Astaga! Pantes aja kamu belum dapet jodoh. Masih molor padahal matahari udah tinggi."

"Emang matahari tinggi, kan?" sahut Viora malas, kemudian meringis sakit saat Mama memukul lengannya. "Mama apa-apaan sih? Sakit tau!"

"Mentang-mentang penghasilan kamu lebih dari Mama makanya berani kerasin suara ke Mama?!" sentak Mama membuat Viora berdecak pelan. Lalu merampas kresek yang dibawa Mama yang ia tebak pasti sarapan untuknya.

"Tumben Mama ke sini pagi-pagi?" tanya Viora usai membasuh wajahnya, ia mengambil piring dari rak lalu memindahkan makanan yang dibawa Mama ke atas piring.

"Abah mu nyebelin."

Viora berhenti mengunyah menatap Mama yang cemberut. "Inget umur. Gak usah ngambek-ngambekan kayak anak kecil."

"Iya Mama inget umur. Makanya! Kamu nikah biar Mama punya cucu!" Tuntut Mama membuat Viora melengos enggan menatap Mama. Lanjut makan. Menyesal telah menyahut, kalau saja ia mendengar curhatan Mama saja. Pasti tidak jauh dari Abah yang senang begadang bermain kartu bersama teman-temannya. Asalkan tidak berjudi, Viora tenang-tenang saja. Abah bermain kartu hanya untuk mengisi rasa bosan.

"Vi, kamu beneran gak mau pertimbangin Pak Aji..."

"Ma! Mama bener-bener tega ya jodohin aku sama aki-aki?!" sela Viora kesal.

"Pak Aji masih mudah lho Vi."

"Muda apaan? Tiga tahun lagi udah setengah abad!"

"Tapi dia punya banyak duit."

Viora melongo melihat Mama yang tertawa.

"Terus juga dia berjasa banget karena ngasih modal buat Abah buka toko sekarang. Dan juga bantuin kuliah kamu pas kita lagi di titik terendah."

"Ma, kalian jual mobilku lho waktu itu. Bantuan dari Pak Aji cuma sedikit. Terus soal kuliahku cuma sekali Pak Aji bayarin, itu pun aku ganti pinjem duitnya Odit."

Beberapa tahun yang lalu merasa Viora diujung tanduk karena Abah yang ditipu sampai ratusan juta membuat beberapa aset milik keluarga lenyap begitu saja.

Viora yang hidup serba berkecukupan. Ingin ini-itu dan langsung mendapatkannya, lalu jungkir balik. Ingin makan saja harus pinjam uang sama sanak saudara. Bahkan ia kerap kali minta uang pada June ataupun meminjam pada Odit. Sangat jarang meminjam pada Odit karena temannya itu tidak ingin uangnya dikembalikan, dalam artian Odit memberinya secara cuma-cuma. Mungkin karena uang temannya itu tumpah-tumpah.

Sementara jika June. Tentu saja temannya itu tidak merelakan uangnya begitu saja. Bahkan menagih dirinya membuatnya rasanya ingin ganti teman.

Tapi semua itu telah berlalu. Setelah Abah membuka usaha, hidup mereka tidak lagi melarat. Viora sudah bisa makan tanpa pinjam uang. Meski kehidupannya tidak seperti dulu lagi yang menghabiskan uang begitu saja.

Saat lulus kuliah, Viora sempat bekerja di salah satu kantor jurnalis. Menjadi pegawai kontrak selama tiga bulan setelah itu bisa diputuskan apakah ingin melanjutkan kontrak atau tidak. Dan Viora tidak melanjutkannya. Karena mendapat pelecehan di tempat kerjanya tersebut.

Pelecehan verbal.

Banyak orang menganggap sepele hal tersebut. Katanya itu hanya ucapan dan berlindung dalam kata 'bercanda'. Beberapa orang beranggapan pelecehan itu baru disebut jika melakukan sentuhan. Padahal nyatanya, meski hanya ucapan, tapi itu juga termasuk pelecehan.

Membicarakan tubuh Viora secara langsung. Tatapan nakal mereka membuat Viora menahan diri agar tidak memukuli mereka. Padahal pakaian yang digunakan Viora sangat sopan. Hanya saja pola pikir mereka yang telah rusak, sangat kotor.

Itulah yang membuat Viora enggan bekerja kantoran lagi. Bukan berarti jika bekerja di kantoran, semua orang bersikap seperti seniornya dulu. Hanya saja Viora menghindari sebelum terjadi. Mengalami sedikit trauma.

Dulu saat sekolah, ia diejek karena gendut. Apalagi saat masuk SMA, ia menjadi bulan-bulanan. Meski ia marah, berteriak galak, tidak ada yang takut. Malah semakin mengejeknya. Sedikit redah saat ia berteman dengan Odit. Banyak yang terang-terangan mendekatinya dengan maksud agar bisa dekat dengan Odit. Tapi tentu, Viora tidak bisa dimanfaatkan begitu saja. Ia akan langsung mendepak jika ada yang ingin memanfaatkan dirinya.

***

Leher Saren kaku, ia sama sekali enggan menoleh ke arah Viora usai mereka keluar dari ruangan dokter THT, tempatnya memeriksa hidung. Bahkan melakukan rontgen untuk mengetahui apakah hidungnya patah. Itu semua karena Viora. Wanita itu mengira hidungnya benar-benar bermasalah. Padahal, sama sekali tidak apa-apa.

Ekspresi datar Viora membuat Saren tau jika wanita itu marah dan itu membuatnya terdiam.

Tapi hanya beberapa saat...

"Gue tau kok lo khawatir banget sama gue. Jadi, gak perlu masang ekspresi sedih gitu, gue kan gak pa-pa." Lengkap dengan tawa pelan.

Tawa yang menyebalkan bagi Viora. Membuatnya semakin emosi. Waktunya selama hampir setengah hari ini bersama pria menyebalkan macam Saren.

Tawa Saren berhenti saat Viora mempercepat langkahnya. "Vi!"

"Apa? Lo maju selangkah! Abis lo!" Viora menoleh, tidak lupa mengacungkan kepala tangan di udara membuat langkah Saren refleks berhenti.

Viora lanjut melangkah, dan begitupun Saren. Saat Viora berhenti, otomatis Saren juga. Tidak mengacuhkan Viora melotot tajam padanya. Pertanda jika wanita itu tidak ingin diikuti.

"Vi..." Sepatu Viora mendarat di kepala Saren membuat Saren mengaduh sakit.

Viora mendekat ke arah Saren. Ingin mengambil sepatunya kembali. "Kalau lo beralasan kepala lo geger otak gara-gara gue lempar sepatu, gak usah! Gue gak bakal percaya!"

Saren meringis pelan, ia mengamati Viora yang memasang kembali sepatunya.

"Apa?!"

Saren menyengir saat Viora melotot padanya. Ia mengacungkan dua jarinya tanda damai.

Sebelum Viora beranjak, ia pun berujar, "Gue traktir makan deh. Lo mau makan di mana aja, sepuas lo. Gimana?"

Viora terlihat berpikir membuat Saren berusaha keras agar tidak tertawa.

Viora sama sekali tidak berubah, meski bentuk tubuh wanita itu berubah. Kalau soal makanan, semarah apapun Viora pasti akan membuat wanita itu luluh.

"Ya udah. Sini duit lu!" Viora menengadahkan tangan, minta uang.

"Kita bareng-bareng makannya." Saren tersenyum manis seraya meraih tangan Viora hendak menautkan jari-jari tangannya, tapi Viora malah meremasnya kuat membuatnya mengaduh sakit.

"Gak usah modus lo!" sentak Viora lalu berjalan lebih dulu meninggalkan Saren yang menggerutu seraya mengusap tangannya yang sakit.

Kenapa wanita itu masih saja kuat darinya?

Apa jiwa Fiona benar-benar melekat pada Viora? Sehingga walau tubuh Viora tidak segendut dulu, tetap saja tenaganya begitu kuat?

"Fiona tungguin gue!" teriak Saren seraya mengejar Viora.

"Gue bukan Fiona!" balas Viora kesal, tidak lupa menoleh hanya untuk memberikan tatapan tajam padanya.

"Oke. Sayangku, tunggu dong!" Saren semakin tertawa saat Viora bersiap-siap untuk melemparnya.

Tak apalah tubuh Saren bonyok, asal yang memukulnya itu Viora.

***

Fix Saren bucin parah!🤭

See you the next chapter
Salam manis dari NanasManis😉
08/10/21

Bittersweet Enemies Be LoversWhere stories live. Discover now