Bab 10. Pov Bayu

11.2K 348 9
                                    

BAB 10 


Pov Bayu (2)


"Jawab Nabila!" kuulangi pertanyaanku dengan suara yang meninggi. Seolah aku ingin meluapkan emosiku dalam beberapa hari terakhir. Iya, aku memang kesal dengan Nabila, tapi aku tidak bisa mengungkapkannya. Dan kini aku seperti punya kesempatan itu. 

Kulihat Nabila membalas tatapanku dengan nyalang. Dia seperti tidak menduga aku bisa sekasar ini. Biasanya aku sangat lembut dan penyabar terhadapnya, mengimbangi sifatnya yang meledak-ledak. Tapi dulu aku menyukai sifatnya itu. Tidak untuk sekarang. 

Aku benar-benar tidak dapat mengontrol emosi saat kulihat tatapan mata Nabila. Aku memilih mengemasi barang-barang pribadiku, memasukkannya ke koper dan mengambil kunci mobilku. Malam itu juga kutinggalkan rumah Nabila. 

Aku tak peduli dengan tatapan orang tua Nabila. Tak ada gunanya aku menjelaskannya karena dadaku sudah dipenuhi dengan emosi. Hanya Fahira yang ada dalam kepalaku. 

Sebelum kustater mobilku, kubuka kembali ponselku. Aku sampai lupa tidak menelpon balik saat aku melihat jejak panggilan Fahira saking emosinya. Belum sempat aku memencet panggilan, sebuah pesan singkat masuk. 

Pesan dari Fahira!

[Mas, aku pamit ya. Mohon maaf lahir dan batin]

Mataku seketika membulat. Segera kutekan lagi tombol panggilan ke nomor itu. Sayangnya, nihil! 

Nomor itu sudah tidak aktif. 

Segera kupacu mobil ke arah rumah. Tepatnya rumahku dengan Fahira. 

Pukul 23.00 aku tiba di depan rumah. Pemandangan yang biasa kulihat. Gerbang terkunci, dan aku membawa kunci cadangannya. Lampu teras yang menyala dan tentu saja, di dalam rumah selalu ada satu lampu menyala di ruang makan. 

"Fahira!" panggilku sambil melangkah menuju kamar kami. 

Jantungku bergemuruh saat aku masuk ke kamar itu dan menyalakan lampunya. 

Tidak ada! Kamar itu kosong. Bahkan selimutnya masih terlipat rapi. 

Kemana Fahira? Bukannya tiap pergi dia selalu pamit? 

Apakah ke rumah orang tuanya? Bukannya dia sudah ke sana kemaren? Mengapa dia pamit lagi? 

Kutarik napas dalam-dalam. Sepertinya besok pagi saja aku telpon ayah dan ibu mertua. Ini sudah terlalu malam untuk menelpon. Khawatir mengagetkan keduanya. 

Bergegas aku menuju lemari pakaian mengambil baju gantiku. Baru saja aku membuka pintu lemari, jantung langsung mendesir saat aku menatap lemari bagian baju Fahira yang nyaris kosong. 

Akhirnya kubuka juga pintu lemari gantung di mana Fahira lebih banyak menyimpan bajunya. 

Ya, Tuhan. Dia hanya meninggalkan beberapa potong baju. Sedangkan baju favoritnya tidak ada! Apa mungkin ke rumah ayah dan ibu membawa baju sebanyak ini? Apakah Fahira akan meninggalkanku? Apakah Fahira tahu kalau aku menikah lagi? 

Tak sabar aku menunggu pagi. Rasanya aku ingin jarum jam segera menunjukkan angka enam pagi, agar aku bisa segera menelpon ayah mertuaku. 

Biarkan Aku Pergi / KETIKA DIRIMU MENDUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang