Bab 12 (a)

10.6K 351 24
                                    


“Mertuamu tidak pernah mengontak kami sejak kepergian Fahira,” ujar mama. Sepulang kerja, aku langsung menuju ke rumah orang tuaku.

Hari ini adalah hari ketiga aku kehilangan Fahira.

Aku sama sekali tidak tahu kemana Fahira pergi. Akun medsosnya yang berhubungan denganku pun sudah dimatikan. Aku juga mengirim email ke seluruh email address-nya yang aku miliki. Tapi tak ada balasan. Aku hampir putus asa.

Mungkin saja mama dan papa akan menyalahkanku. Aku akui ideku menikah dengan Nabila memang sangat gegabah. Meski, beberapa kali mama sudah menegurku dan keberatan. Tetapi, aku selalu berusaha meyakinkannya kalau ini tak akan ada masalah.

Apalagi, Fahira selama ini tidak pernah marah ataupun menaruh curiga terhadapku. Bahkan, jika aku pergi usai menjemputnya dari kerja, dia tak pernah melarang ataupun menginterograsiku sepulangnya.

Aku tahu, mama dan papa sangat kecewa terhadapku. Mungkin mereka sudah tak punya muka dengan orang tuanya Fahira.

Tapi, ini semua sudah terjadi. Yang bisa aku lakukan hanya mencarinya sampai dapat. Meskipun kini, aku rasa Fahira seperti hilang ditelan bumi.

Aku menyesal saat dia melakukan panggilan, harusnya aku segera menelpon balik. Mengapa aku justru memarahi Nabila dulu, baru ingat menelponnya kembali saat nomornya sudah tak aktif?

“Aku harus cari Fahira kemana, Ma?” tanyaku mengiba.

Aku sudah putus asa. Kutatap wajah kedua orang tuaku. Aku ingin mereka mau mengulurkan bantuan, paling tidak menanyakan kepada mertuaku.

Tapi, segera kutepis keinginan itu. Haruskah aku meminta bantuan mereka? Bukankah ini hanya menurunkan harga diri keluargaku? Tapi, dalam kondisi seperti ini, haruskah aku mempedulikan harga diri?

Kutinggalkan rumah mama dan papaku dengan perasaan hampa. Mereka pun melepasku dengan tatapan mata cemas. Tak luput aku melihat Bi Darni yang biasa membantu mama dan papa di rumah pun melihatku dengan rasa kasihan. Mungkin andaikan bisa, Bi Darni pun akan menyalahkanku. Menyalahkan tindakan bodoh yang pernah kulakukan kepada Fahira.

Aku tahu, meskipun Fahira cukup pendiam dan kalem. Dia sangat akrab dengan Bi Darni. Tiap datang ke rumah, selalu mengajaknya ngobrol, kadang menanggapi cerita Bi Darni sampai terkekeh-kekeh. Bahkan tak jarang memberinya oleh-oleh meskipun kecil. Pasti Bi Darni juga sangat kehilangan.

Malam ini aku berniat ke rumah di mana Nabila berada. Meskipun aku berjanji tidak menginap di sana, bukankah dzalim jika aku tak mau bertandang ke sana? Dia juga istriku.

Kumasuki pintu pagar rumah itu. Terasnya tampak tidak terurus padahal baru tiga hari lalu aku bayar tukang bersih-bersih. Padahal, Nabila dan mama mertuaku ada di rumah.

Ah, kenapa masalah sepele seperti ini harus aku pikirkan?

“Mas, apa kamu tidak mau mencarikan kami ART buat kita. Aku ngga sanggup kalau di suruh bersih-bersih, masak. Belum lagi nyuci dan nggosok baju,” ujar Nabila saat kami ngobrol di kamar.

Kamar yang kami tempati pun agak pengap. Sepertinya dia lupa membuka jendela siang tadi. Atau bisa jadi dia menyalakan AC nya sepanjang hari.

Aku hanya bisa mendengus mendengar permintaannya itu. Tapi, tak ada untungnya juga berdebat. Jika aku tak mencarikan pembantu, bukannya hanya menambah emosiku karena rumah akan terasa kurang nyaman.

Aku pun baru tahu kalau papanya Nabila sudah tidak bekerja lagi. Praktis mulai bulan ini akulah yang akan menanggung biaya hidup mereka. Mungkin, ini juga yang membuat Nabila beberapa bulan lalu minta dicarikan kerja.

Setelah aku pikir-pikir, memang Nabila sebaiknya bekerja. Kalau tidak, bisa bangkrut pengeluaranku menanggung biaya hidup mereka. Apakah aku menantu yang kurang ajar? Terserahlah apa penilaian mereka.

“Mas, kita belum pernah, lho.” Tiba-tiba Nabila sudah berada di dekatku dengan dandanan yang menggoda. Entah kapan dia berganti pakaian aku tak tahu. Mungkin karena aku terlalu sibuk dengan pikiranku.

Aku sendiri sebenarnya ragu untuk menyentuh Nabila. Moodku sudah hilang entah kemana sejak Fahira pergi dari ku. Apalagi di tambah kondisi rumah mewah ini yang seharusnya nyaman, mengapa aku merasa tidak nyaman berada di dalamnya.

Apalagi kamarku dan Fahira selalu segar dan wangi. Aku selalu betah berlama-lama di kamar itu. Bohong jika aku tak menyukai Fahira selama dua tahun di awal pernikahanku. Aku saja yang tak menyadari sejak kapan aku mencintainya.

“Astaga!” tiba-tiba kelebat bayangan Fahira begitu saja hadir dalam benakku. Segera kulepaskan Nabila yang ada di hadapanku.

“Kenapa, Bay?” Nabila tampak kaget dengan sikapku barusan.

“Maaf, aku tidak bisa,” ujarku. Kuhembuskan napas dengan kasar. Lalu aku beranjak ke kamar mandi. Apa mungkin karena aku terlanjur berjanji tak akan menginap di sini sebelum Fahira kutemukan?

Bahkan aku gagal membangkitkan moodku di depan Nabila.

Dulu, saat aku belum menikahinya, aku sering menginginkannya. Bahkan dengan mencium aroma parfumnya saja aku sudah mendesir. Tapi entahlah, kini aku malah menjadi mual dengan aroma parfumnya.

“Maaf Nabila, aku tidur di rumah,” ujarku seusai keluar dari kamar mandi. Kulihat Nabila hanya diam mematung sambil menatapku pergi, seperti kecewa. Akupun lebih kecewa. Kecewa karena dia tidak jujur sejak awal. Tapi aku memang salah, lebih dibutakan oleh cinta.

Besambung ke 12. B.
Silahkan tinggalkan vote dan komentar...

Terimakasih.
Salam sukses untuk semuanya.

Biarkan Aku Pergi / KETIKA DIRIMU MENDUAWhere stories live. Discover now