Bab 11 (b)

10.8K 358 25
                                    


Pagi itu aku tinggalkan Nabila dan mama papanya di rumah. Tak lupa aku kunci kamarku. Bukan aku curiga pada Nabila, tapi aku harus menjaga privasi Fahira.

Tujuan pertamaku adalah membersihkan rumah yang akan ditempati Nabila. Nabila dan orang tuanya tidak boleh terlalu lama tinggal di rumahku. Jangan sampai Fahira tahu jika Nabila pernah menginap di rumah. 

Segera kupesan tukang yang bisa membersihkan rumah. Kuminta salah stau satpam kompleks mengawasinya dengan memberinya uang kopi. 

Selanjutnya, kulajukan mobilku ke kantor Fahira. Seharusnya, aku bisa menemukan Fahira di sana. Tidak mungkin dia hari ini tidak bekerja. 

“Maaf Pak, Bu Fahira sudah tidak masuk kerja sejak seminggu yang lalu. Permohonan resign nya sudah diajukan sejak sebulan lalu,” ujar seorang ibu yang menemuiku saat aku menghadap di kantornya. 

Remuk redam rasa hatiku. Bahkan, aku tak tahu jika dia sudah merencanakan berhenti bekerja sejak sebulan yang lalu. Kemana saja aku? 

“Apakah ada masalah, Bu?” tanyaku kemudian. 

Ibu yang tampak sangat bersahabat itu hanya menggeleng sambil tersenyum. Sepertinya dia ingin aku memahaminya bahwa tidak semua alasan boleh disebutkan. Tapi, setahuku tak mungkin dia mengundurkan diri tanpa alasan. Apakah dia juga menyembunyikan alasan itu dari atasannya. 

Aku segera pamit undur diri. Tak banyak informasi yang kudapat, selain dia sudah tidak bekerja di kantor itu. 

Aku bergegas ke kantorku. Sudah sangat terlambat aku masuk kantor, meskipun aku sudah mengabarkan ke sekretaris atasanku kalau aku memang terlambat karena banyak urusan yang harus kuselasaikan. 

Aku terduduk di meja kerjaku. Kembali kucoba menghubungi Fahira melalui sambungan telponnya. Sepertinya nomornya sudah tidak aktif. Menyesal juga selama ini aku tak pernah berkenalan dengan satupun temannya. Sehingga aku tak bisa mengorek informasi apapun tentang Fahira. 

Kubuka akun medsosku. Berharap aku menemukan jejak Fahira di sana. 

Tiba-tiba mataku berkaca-kaca. Bukan jejak Fahira yang kudapatkan. Tapi kenyataan pahit. Fahira memencet tombol like pada fotoku dengan Nabila yang diposting di akun Nabila dan ditandai ke akunku. 

Tiba-tiba kepalaku menjadi pening. Ya Tuhan, ampuni aku. 

Fahira, maafkan aku. 

Kini, aku sudah tahu jawabannya. Rupanya, Fahira sudah mengetahui kalau dirinya mendua sejak lama. Pasti itu juga yang membuat Fahira memutuskan pergi darinya. Keluar dari pekerjaannya. 

Fahira, di mana kamu sekarang? Kenapa kamu tak pernah mengatakannya padaku kalau kamu tahu? Kenapa kamu tak pernah marah padaku? Kenapa kamu melakukan ini padaku? 

BRAKKK! 

Kupukulkan kepalan tangan ke meja kerjaku. Gemuruhnya membuat teman seruanganku menoleh ke arahku. 

“Kenapa, Bay?” Alfian, yang duduknya paling dekat denganku langsung bertanya. 

Aku segera tersentak mendengar pertanyaan itu. 

“Maaf!” ujarku lirih. 

Aku segera keluar dari ruanganku. Aku benar-benar tak bisa konsentrasi. Kuputuskan untuk pergi ke kantin mencari kopi panas. Mungkin bisa sedikit meredakan emosiku. 

Teringat kopi panas, aku jadi ingat Fahira yang rajin menemaniku sarapan pagi. Tadi pagi adalah hari pertamaku ke kantor tanpa Fahira. Dan tentu saja aku tak mencium aroma kopi buatannya dengan coffeemaker di dapur rumahku. Bahkan saat aku berangkat, Nabila dan mama papanya belum ada yang beranjak keluar kamar. 

Asap kopi itu masih mengepul saat berada di mejaku. Tiba-tiba ponselku bergetar. 

Sebenarnya, aku berharap Fahira yang menelponku dan mengabarkan dia ada di mana, sehingga aku bisa menjemputnya. Aku kangen mengantar dan menjemputnya di kantor. Mungkin tak akan pernah lagi karena dia sudah mengundurkan diri dari pekerjaannya. 

“Mas, kami lapar. Tidak ada makanan,” ujar Nabila dari ujung telpon. 

Ingin rasanya aku banting ponsel ini. Hanya urusan sarapan saja, mengapa harus menelponku. Bukannya dia tahu kalau aku sedang bekerja? Bukannya dia tahu kemana harus mencari makanan? Toh sekarang bisa melakukannya secara online

Tut tut tut

Kututup panggilan secara sepihak tanpa ada keinginan menjawabnya. Aku sudah lelah. Baru dua hari saja sudah menguras energiku. Bagaimana jika seminggu, sebulan, setahun, bahkan seumur hidup? 

Tiba-tiba bayangan Fahira kembali berkelebat. Wanita yang tak pernah merepotkanku. Bahkan, jika mau belanja saja, dia hanya bertanya apakah aku bisa mengantarkannya, atau dia akan berangkat sendiri. 

“Melamun?” 

Aku menoleh ke sumber suara. 

Pria itu menarik kursi dihadapanku. Sepertinya dia sudah memesan minuman juga. 

Aku sebenarnya enggan berdekatan dengannya. Dia seperti ingin mencampuri urusanku. Aku tahu aku masih punya ikatan saudara dengannya. Tapi, setidaknya dia harus menjaga privasiku dibanding mengurusiku. 

Sewaktu aku dekat kembali dengan Nabila, bukan sekali dua kali dia mengingatkanku. Tapi aku tak mempedulikannya. Apalagi alasannya kalau bukan karena dia belum pernah merasakan posisi yang sama denganku. Posisi ditinggalkan mantan yang sangat dicintainya. Bukankah dengan kembalinya sang mantan itu menunjukkan benar kata pepatah, "kalau jodoh tak akan kemana?” 

“Aku tahu kamu mencari Fahira,” ujar Faisal sambil melirik kearahku sekilas. 

Entah dari mana dia tahu? Apakah dia membuntutiku. Atau justru dia membuntuti Fahira? Aku sangat kesal dengannya. Andai ini bukan di kantor, tepatnya kantin kantor, aku pasti sudah menghajarnya. 

“Kamu tinggalkan dia demi mendapatkan mantanmu? B*doh!” ujarnya sambil bangkit dari kursinya saat petugas kantin mengangsurkan kopi dengan kemasan take away

Jantungku bergemuruh. Antara tidak rela dengan kata-katanya. Juga membenarkan kata-katanya. Aku memang b*doh. Tapi, keb*dohanku baru kudasari setelah Fahira pergi. 

Andaikan waktu bisa berputar kembali, aku ingin aku tak bertemu dengan Nabila. Aku ingin menikmati saja kebersamaanku dengan Fahira yang diam-diam mulai kucintai. 

“Fahira, kamu di mana?” gumanku. 

BERSAMBUNG…

Yang mau lanjut ke part 11(c) tinggalkan komen ya sayang...😍😍😍

Yang lengkap, ada di KBM app.

Salam santun.

Biarkan Aku Pergi / KETIKA DIRIMU MENDUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang