21. Uncle Satria

307 62 2
                                    


★Your voment are so precious to me★
★Happy Reading Besties★




21. Uncle Satria




Setelah selesai makan malam bersama keluarga Marsha, Naya segera masuk ke dalam kamar Marsha. Ia duduk di tepian tempar tidur gadis itu sambil menatap ponselnya. 
   
“Lo kenapa?” Marsha baru saja datang. 
   
Naya mendongak. Ia tersenyum tipis ke arah gadis itu lalu mematikan ponselnya. Tak ada yang mencarinya sama sekali.
   
“Bokap lo asik, ya. Bisa bikin semua orang nyaman sama dia.”
   
“Au!” Naya mengaduh karena tiba-tiba Marsha menyentil dahinya.
   
“Kata-kata lo itu bikin orang bingung. Btw, besok gue mau ke sawah, lo ikut nggak?” 
  
Mata Naya berbinar. “Mau, mau! Gue dari dulu pengen banget foto sama orang-orang sawah.”
   
“Orang ke sawah buat kerja bukan buat selfie, Naya....” Rasanya Marsha ingin sekali mencekik leher gadis itu atau memutuskan pita suaranya.
   
“Ya, tapi gue kan pengunjung,” beritahu Naya.
   
“Lo kira tempat wisata?” 
   
“Ya, buat gue.” 
  
Marsha tak lagi melanjutkan percakapan yang sampai besok pun mungkin tidak akan ada habisnya. Gadis itu naik ke atas tempat tidur dan menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. 
   
“Lo jangan rusuh di rumah gue. Cepet tidur,” tuntut Marsha sebelum memejamkan matanya.
   
Naya sedikit mendengkus. Ia kemudian menaikkan kakinya ke atas tempat tidur dan menarik selimut gadis itu. Ia membalik tubuhnya dan memunggungi Marsha. Naya ingin sekali memejamkan matanya, tapi rasanya sulit.
   
Naya menoleh ke belakang, Marsha sudah terlelap bahkan ia mendengkur halus. Terkadang Naya iri pada orang-orang yang menempel dengan kasur langsung bisa tertidur. Sementara ia harus melakukan banyak hal baru bisa memejamkan matanya. 
   
“Semoga aja besok mata empat gue nggak berubah jadi mata panda berkacamata.” Naya bergumam dan mulai menghitung deretan angka sampai akhirnya ia tertidur.

♪(┌・。・)┌

Halo, Guys! Sekarang gue ada di sawah. Lihat nih sawahnya udah ditanemi sama padi terus ada ini.” Naya berbicara di depan handphonenya yang sedang merekam aksinya.

Gadis itu menunjuk sebuah senjata yang biasa dipakai untuk mengusir burung.

“Orang-orangan sawah!" hebohnya sendiri.
   
Tak jauh darinya, Marsha berdiri sambil menatap geli gadis itu. “Naya, buruan! Kapan sampainya kalau gini? Dikit-dikit bikin video, dikit-dikit selfi,” keluhnya.
   
Naya segera mengakhiri video singkatnya yang ia upload ke stories instagram khusus untuk close friendsnya. Gadis itu terlihat mencak-mencak karena belum puas mengabadikan momen bersama orang-orang sawah yang cuek banget—seperti ayahnya.
   
“Lo itu ya, kok mendadak narsis gitu sih? Malu tau dilihatin orang-orang,” gerutu Marsha.
   
“Gue suka alam. Lagipula sebenarnya gue nggak narsis-narsis amat deh. Sehari paling gue selfie cuma tiga kali, bikin boomerang sekali, upload status juga jarang.”
   
“Tapi tadi itu udah kelewatan banget tau. Lo jalan semeter terus berhenti buat ambil foto sama video setengah jam. Jalan lagi foto lagi. Liat nih kita udah hampir kesiangan.” Marsha terus mengomel.
   
Naya menutup kedua telinganya dengan masing-masing telunjuknya. Gadis itu tidak mau mendengar ocehan Marsha yang tak pernah habis. 
   
Tak berselang lama, kedua gadis itu akhirnya tiba di sebuah pondok. Marsha meletakkan bekal makan siang orang tuanya di sana. Sementara Naya sudah kembali mengambil foto dengan banyak gaya.
   
“Harusnya anak kota kayak dia nggak usah dibawa ke sawah,” ucap Marsha pada dirinya sendiri.
   
“Lo mau di sini atau ikut gue?” marsha menatapnya dengan malas. 
   
“Ke mana?”
   
“Mau nangkap belut,” jawabnya singkat. Lalu mulai meninggalkan Naya.
   
Mata Naya melebar. Gadis itu segera menyimpan ponselnya dan menyusul Marsha dengan buru-buru.
   
“Kak, tungguin! Gue juga mau!”

His Favorite GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang