23. Black Sheep of the Family

311 63 0
                                    

23. Black Sheep of the Familly






Naya baru saja tiba di rumahnya dan lagi-lagi saat larut malam. Ia diantar oleh Valen dan laki-laki kini sudah pulang setelah memastikan Naya masuk ke dalam. Naya memegang gagang pintu dan hendak mendorongnya, tapi ia mendengar suara deruman mobil yang baru memasuki garasi.

Gadis itu tampak cuek bahkan ketika Damaris sudah muncul di sampingnya.  Anak perempuannya kini benar-benar membuatnya tak habis pikir.

Damaris mencekal tangan putrinya dengan keras dan pasti meninggalkan jejak kemerahan di sana. "Dari mana saja kamu?"

Naya sama sekali tak berusaha melepaskan tangannya. Ia mendengus. "Apa peduli ayah?" Kedua matanya menantang netra gelap Damaris.

Damaris tanpa ragu segera melayangkan tangannya ke pipi gadis itu. "Udah mulai ikut-ikut abang ya kamu sekarang!" Napas Damaris memburu.

Naya membiarkan air mata yang jatuh tanpa diminta itu membasahi pipinya. Sorot matanya semakin tajam menatap Damaris. "Ini nggak ada sangkut pautnya sama abang. Ayah nggak usah bawa-bawa abang!" teriak Naya kencang.

"Oh, ini hasil didikan ibu kamu, ya? Bentak-bentak orang tua, nggak punya rasa hormat sama yang udah besarin kamu."

"Nggak usah bawa-bawa ibu! Dibanding ayah, ibu tetap yang paling baik buat Naya. Ayah taunya cuma marah, marah, dan marah terus." Deru napas gadis itu terdengar saling berburu. Dadanya naik turun.

Plak.

Damaris lagi-lagi menampar putrinya. "Mau lagi?"

Naya menarik satu sudut bibirnya dan mengangkat wajahnya. "Ayo, Naya nggak takut! Sini tampar, sini!" Naya menepuk pipinya yang satu lagi.

"Kenapa diam aja? Ayah takut? Naya aja nggak takut," ejek gadis itu pada pria di depannya.

"Dokter Damaris memang payah. Jadi suami gagal, jadi ayah juga gagal. Malu dong sama tetangga."

Telinganya sudah dibuat panas mendengar kata-kata putrinya. Damaris mengangkat tangannya bersiap menampar gadis itu lagi. Sedikit lagi tangannya akan menyentuh pipi gadis itu, tapi seseorang datang menangkap tangannya.

Naya membuka matanya yang sempat terpejam. Ia memutar matanya ke atas.

Dia lagi, dia lagi.

"Mas, jangan lagi." Adinda memohon.

Mis, jingin ligi. Ibu tiri emang sok baik.

"Anak ini udah kelewat batas, harus dikasih tau pakai kekerasan baru paham." Damaris menunjuk-nunjuk Naya.

"Udah, Mas jangan dilanjut. Naya perempuan, jangan dikasarin." Adinda menarik lengan Naya. "Naya masuk ke kamar, ya. Besok-besok jangan gini lagi."

Naya menarik tangannya dan mengusapnya seolah ada kuman yang menempel. "Eh, nggak usah jadi sok baik dong. Nggak butuh gue," ketus Naya membuat darah Damaris kembali naik.

Damaris tidak bisa menahan lagi. Ia segera menyeret Naya masuk ke dalam. Langkah gadis itu sedikit tertatih-tatih berusaha mengimbangi gerak cepat ayahnya. Damaris membawanya ke kamar.

"Sekali lagi ayah lihat kamu pulang larut malam lagi, siap-siap aja uang jajan kamu ayah stop," ancam Damaris.

"Ya, nggak papa. Yang penting bisa have fun tiap malam," balas Naya santai.

Gadis itu kemudian menarik gagang pintu bersiap untuk menutupnya. Tatapannya melirik sebentar ke arah Adinda yang berdiri dengan wajah khawatir.

"Situ besok-besok nggak usah sok-sokan jadi penolong, ya. Nggak sudi soalnya gue dibantu sama pelakor."

His Favorite GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang