53. The Fact

276 57 22
                                    

53. The Fact



Gadis itu tersenyum sambil mengusap foto lama ia dan kakak laki-lakinya sewaktu kecil. Foto itu tersimpan di dalam dompet ayahnya. Hal yang membuatnya terharu.

Ayahnya ternyata masih mengingat mereka.

Tadi pagi, ia sudah berbicara dengan dokter yang sedang visit. Kata beliau, ayahnya hanya perlu dirawat beberapa hari lagi.

Naya cukup senang mendengarnya. Setidaknya kondisi ayahnya lebih baik dari yang ia bayangkan.

Gadis itu menatap ayanya lagi, berharap pria itu segera membuka matanya.

Usapan halus yang diberikan Naya pada tangan ayahnya membuat pria itu perlahan-lahan mulai membuka matanya.

Naya tersenyum, menghapus sudut matanya yang basah. Saat pria itu benar-benar sudah bangun, Naya hanya bisa memeluknya tanpa mengatakan apapun.

Ia membiarkan pelukan dan airmatanya yang memberitahu pria itu bagaimana perasaannya saat ini.

Naya berusaha mengatur emosinya, walau cairan bening itu terus saja mengalir ketika dihapus. Mulutnya masih bungkam.

Saat dirasa mulai tenang, gadis itu mulai berbicara dengan lirih. "Ayah...."

Naya pikir ia bisa mengendalikan perasaannya, tapi nyatanya gadis itu terlalu emosional. Ia tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Di hadapan Damaris, ia hanya bisa menangis.

Ayahnya memberinya isyarat untuk kembali memeluknya. Gadis itu langsung melakukannya.

"Maaf.... Ayah." Naya berulang kali mengatakan dua kata itu.

"Udah, jangan nangis lagi."

Damaris ingin sekali menghapus air mata putrinya. Ia juga ingin memeluknya erat. Namun, kondisinya tidak memberinya kesempatan untuk melakukan hal itu.

Selama beberapa jam gadis itu terus berada di samping ayahnya. Menyuapinya sarapan, bertanya tentang kondisinya terus menerus, apa saja yang ingin dimakan dan sebagainya.

Bahkan Naya melupakan kenyataan bahwa ayahnya adalah seorang dokter.

"Ayah mau lihat adek?"

Damaris mengernyitkan dahinya. Dan Naya seolah tahu apa yang dipikirkan ayahnya, langsung memperjelas ucapannya.

"Bunda udah lahiran," lanjut Naya pelan. Masih ada perasaan canggung saat ia menyebut Adinda dengan panggilan itu.

Damaris tersenyum, matanya tampak berkaca-kaca. Selain karena anaknya sudah lahir, pria itu turut bahagia saat putrinya mau memanggil istrinya dengan kata itu.

"Adek mirip banget sama ayah." Suaranya berubah serak. Naya tak bisa menahan buliran bening itu.

Gadis itu berusaha mengontrol dirinya. Ia tersenyum sambil mengusap pipinya.

"Ayah mau lihat fotonya?"

Damaris mengangguk. Naya mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto yang ia ambil diam-diam.

"Laki-laki?" tanya Damaris.

Naya mengangguk, membenarkan ucapan ayahnya.

"Bunda gimana sekarang?" Pria itu masih menatap foto putra kecilnya.

"Bunda sehat, tapi masih di rumah sakit."

"Naya kenapa gak sama bunda? Besok juga harus sekolah kan?"

"Naya mau jaga ayah." Naya menunduk.

Damaris menghela napasnya. Ia menarik tangan gadis itu lalu mengusap-usapnya.

His Favorite GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang