28. Different Wishes

299 61 2
                                    

28. Different Wishes


“Gue—“
   
“Bukan, Pi. Itu sebenarnya azab karena dia sering banget makan di kondangan orang lain. Udah nggak diundang, eh nggak pernah ngasih amplop juga,” potong Yoga dengan cepat.
   
Naya melayangkan tatapan tajam pada ketua kelas mereka. Kalau saja kondisi baik-baik saja, Naya pastikan bibir laki-laki itu sudah berdarah. Yoga kali ini sedang beruntung, tapi Naya akan membalaskannya di waktu lain.
   
“Ih, yoga! Naya lagi sakit kok digituin?” protes Cilla.
   
“Ya, emang nyatanya gitu. Ini juga peringatan buat kalian yang sering jadi tamu tak diundang, mulai sekarang distop.”
   
“Ngebullshit aja terus lo,” tandas Naya.
   
Yoga tak membalas lagi. Ia hanya ingin membuat Naya kesal sesaat, tapi selanjutnya ia sadar bahwa yang dilakukannya salah. Hampir satu jam mereka pakai untuk menemani teman sekelas mereka. Selama itu juga banyak yang bertanya di benak masing-masing tentang mengapa Naya hanya seorang diri. Mereka memilih menahan diri untuk bertanya, meski rasa penasaran itu membuat mereka tak nyaman. Setelah selesai menjenguk Naya, mereka semua izin pamit pada gadis itu.
   
Kecuali, dia.

Laki-laki itu menarik kursi dan duduk di samping Naya. Kedua tangannya diletakkan didekat tangan gadis itu. Perlahan, jemarinya menyentuh milik gadis itu dan membawanya dalam genggamannya yang hangat.
   
“Kenapa nggak balik?”
   
Rudy menggeleng lalu tersenyum. “Gue mau di sini aja dulu buat temenin lo.”
Ia mengusap jemari gadis itu dengan jempolnya lalu menciumnya. Netranya menatap Naya dengan hangat. “Cepet sembuh ya, Nay.”

“Ya, harus lah! Lo pikir gue suka rebahan kayak gini? Mana tangan sama kaki gue udah gatel banget pengen night ride lagi.”

Rudy melepaskan genggamannya dan tatapan mata laki-laki itu berubah kesal.

“Isi otak lo cuma itu aja, ya, Nay? Lo baru aja dioperasi, lo itu harusnya—“

“Harusnya apa? Gue harus kelihatan nyesel gitu karena nggak jaga kesehatan? Terus kalau kenapa kalau gue pengen night ride? Marah lo? Mau nyoba larang-larang gue gitu?”

Rudy tidak menggubrisnya sama sekali.

“Rudy, denger dan ingat ini baik-baik. Lo emang pacar gue, tapi pacar bohongan. Lo nggak punya hak buat ngelarang gue, ngomelin gue, apa yang gue lakuin itu atas kemauan gue sendiri.”

“Gue khawatir sama lo, Nay. Gini-gini biarpun kita pacaran bohongan, tapi sayangnya gue ke lo itu beneran.”

Naya sontak terdiam dan tak bisa mengatakan apa-apa. Gadis itu meneguk salivanya susah payah. Ia memutus kontak mata mereka. Frasa terakhir yang diucapkan cowok itu mengganggu pikirannya.

“Lo pasti abis diajarin sama Alex buat ngerayu cewek, kan? Jangan dipraktekin ke gue, deh. Nggak mempan soalnya.”

“Lo sakit malah tambah cerewet, jadi pengen...,” kata   Rudy. Laki-laki itu sengaja menggantung ucapannya.
Naya kembali menoleh pada  Rudy.

“Pengen apa? Jangan bilang lo mau nyium bibir suci gue?!” Kedua matanya mendelik tajam.

“Ogah gue nyium lo. Ntar gue jadi hobi nyerocos kayak lo.”

Pintu kembali terbuka dan Satria adalah orang yang melakukan itu. Laki-laki itu melirik sekilas pada kedua remaja itu sebelum akhirnya menduduki sebuah sofa kecil di sana.

“Om, bisa keluar nggak?” tanya Naya enteng.

Satria memelotot. Belum semenit di sana ia sudah diusir secara terang-terangan oleh Naya. Mau tak mau satryia kembali menyeret kakinya keluar dari sana.

“Kejam bener lo,” komentar  Rudy.

Naya membalasnya dengan memberikan senyum tipis. Tatapannya kini mulai melemah.

His Favorite GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang