33. Ingatan Pada Hari Dimana Semuanya Dimulai

582 63 10
                                    

Hana memeluk erat tubuh mungil putranya.

“Bunda.”

“Semuanya akan baik-baik saja, nak. Anak bunda kuat, kan?”

“Tapi, Renjun takut. Hiks bunda bagaimana ini?"

"Tidak apa-apa, nak. Percaya pada Allah, semuanya akan baik-baik saja. Renjun hanya perlu berusaha jadi, lakukan pengobatannya, ya?"

"Tidak bunda. Aku takut, orang bilang itu menyakitkan. Lagi pula itu tak menjamin kesembuhanku, bukan?" Wanita yang dipanggil bunda itu pun lantas, kembali memeluk erat tubuh putra keduanya.

"Nak, Renjun dengar ayah. Apa pun yang terjadi, itu adalah takdir. Takdir itu sudah ditentukan sebelum kita lahir. Renjun, apa pun nanti hasil akhirnya itu adalah takdir, namun jangan mentang-mentang takdir sudah di tentukan kamu tidak mau berusaha. Setidaknya kau harus berusaha dan berdoa. Ikhtiar, nak. Setelahnya baru pasrahkan dan serahkan semuanya pada Tuhan.”

“Renjun, lakukan pengobatannya, ya nak?" ucap sang ayah.

Renjun menghela napas berat.

"Baiklah, aku akan melakukannya." Keputusan Renjun ini sanggup membuat kedua orang tuanya kembali tersenyum.

"Pintar. Anak bunda harus kuat, ya." Renjun mengangguk.

Namun tak lama senyuman sang ayah luntur, tergantikan dengan raut wajah panik.

"Kalian pasang sabuk pengamannya, ya."

"Ada apa?" Tanya sang bunda.

"Aku tidak bisa mengendalikan mobilnya. Rem nya blong."

"Apa, bagaimana mungkin?"

Kedua orang tuanya mulai panik, sedangkan atensi Renjun justru tertuju pada dua orang yang berada di taman dekat sana. Renjun terus memperhatikan dua orang yang keberadaannya tak jauh dari mereka itu.

Ya, itu Chansung. Ia nampak memberikan sebuah amplop coklat tebal kepada seorang lelaki. Lelaki itu tersenyum, lantas dengan segera ia mengendarai truk nya dan mengarah pada mobil yang ditumpangi oleh Renjun dan kedua orang tuanya.

"Ayah awas!"

Sang ayah membelokkan mobilnya ke arah kanan. Ayah dari tujuh anak itu berusaha menghindari truk tadi namun, truk berbadan hijau itu justru kembali mendekati mobil mereka.

“Renjun, Hana lompatlah!”

“Tapi, ayah?”

Sang ayah tersenyum penuh arti.

“Semuanya akan baik-baik saja, Renjun. Bantu kakakmu menjaga adik-adik kalian, ya?”

Renjun mengangguk.

“Renjun lompatlah!”

“Cepat, nak!”

Pemuda itu masih tak bergeming, hingga Hana membuka pintu mobil dan mendorong putranya dari sana.

“Mengapa masih di sini? Lompatlah!” Hana menggeleng lantas, mengalungkan tangannya ke leher sang suami.

“Aku tidak bisa meninggalkanmu sendiri. Bukankah itu janji kita? Apa pun yang terjadi kita akan tetap bersama.” Sang suami tersenyum mendengar perkataan sang istri.

“Aku akan berusaha.”

Renjun meringis kecil kala tubuhnya berguling di aspal hingga menimbulkan beberapa lecet pada lengannya.

7 HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang