11. Plester

659 80 16
                                    

Kak Sehan dan gue ada dikantin sekarang, setelah sebelumnya ke UKS buat ambil p3k.

Kita duduk berhadapan, dikursi panjang. Dengan dia yang duduk miring menghadap gue, sedangkan gue duduk lurus tapi menghadap ke dia juga.

Tadi di UKS lagi ada adek kelas yang sakit, kata kak Sehan takutnya kita ganggu, jadi kita memilih buat bawa kotak p3k-nya ke kantin.

Lalu gue mengambil kapas dan cairannya. Kak Sehan cuma diam aja di depan gue, melihat gue yang lagi menuang cairan alkohol ke kapas, lalu gue balik menghadap dia.

Gue menyibak rambutnya dulu, dan menahannya supaya gak jatuh-jatuh.

"Maap ya kak." Kata gue, sambil mendekat.

"Eh, sebentar!!!" Dia malah mundur.

Melihat dia yang langsung menghindar, apalagi dia yang sekarang malah menatap gue dengan raut wajahnya yang merengut.

"Kenapa?" Gue bingung.

Dia masih diam diposisinya. "Gak usah diobatin, ya? Takut sakit ah." Jawabnya, memandang ngeri kapas yang gue pegang.

Tunggu, gue pengen ketawa, tapi ...

"Mpft—" oke, gue udah terlanjur ketawa, walaupun masih gue usahain buat tahan.

Gue menunduk sejenak buat sembunyiin tawa gue. Setelah itu gue mendongak lagi.

"Gak sakit kok, adem." Bujuk gue.

Kak Sehan menaikan alisnya. "Bohong ya?"

"Enggak—"

"Bohong."

"Ng—" gue nggak bisa nahan tawa gue. Gak tau kenapa, melihat dia begini rasanya lucu. 

"Dih, kok gua diketawain? Cupu ya gua?"

Cepat-cepat gue mendongak, sambil berhenti ketawa. "Enggak, nggak cupu. Kalo mau diobatin nggak cupu, kak."

Kak Sehan mendelik menatap gue mendalam. "Kan, pasti bohong tuh, itu pasti sakit kan? perih..." Katanya, sambil meringis gitu.

Gue menggeleng. "Enggak kak—"

"Bohong."

"Enggak."

"Bohong, Anyaaa ... waktu itu gua pernah diobatin sama mama gua juga sakittttt..."

Sumpah, ini gue lagi diuji buat tahan tawa kayaknya lihat tingkah kak Sehan. Tapi, kalo ketawa gak enak, kalo gak ketawa gak puas.

Akhirnya gue berdiri, keluar dari kursi kantin, buat mastiin dia. Habisnya agak malu juga kalau dia teriak-teriak kayak barusan.

Walaupun keadaan kantin lagi sepi.

"Oke, sekarang kita gini aja." Kata gue, menggantung kalimat gue sambil berdiri.

"Apa?" Kak Sehan menyahut, sambil mendongak melihat gue karena posisi kita.

"Kak Sehan nanti bakal aku traktir, tapi kalo kak Sehan udah selesai aku obatin." Ucap gue, menjulurkan tangan, meminta persetujuan.

"Gimana?" Gue masih memastikan.

"Tapi, bener gak gua bakal ditraktir?" Dia bertanya, dan ... gue lantas mengangguk. Begitu dia menerima jabat tangan gue.

"Gua di traktir pokoknya." Kata kak Sehan.

"Iyaa..." Gue menjawab gemas, sambil sedikit ketawa. "Ya udah, sini mukanya— lukanya."

WhiteoutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang