3O. Revision

350 33 2
                                    

Bogor, sekitar jam 5 sore gue ada di rumah kak Hessa, lebih tepatnya di halaman rumahnya menunggu dia pulang.

Tadi, ketika sampai Bogor gue langsung bertemu teman-teman gue di rumah lama. Sesuai yang gue bilang kalau barang-barang di rumah sana sengaja dibiarkan begitu aja.

Lantaran setahun kemudian gue dan keluarga gue bakal kembali. Semoga, kalau rencananya gak berantakan dan gak berubah mendadak.

Gue dan teman-teman sekelas gue berbincang disana, temu kangen istilahnya. Kita ngobrol, bercanda, ledek-ledekan, seperti biasa di kelas. Kayak teman yang gak ketemu lama, padahal baru sekitar dua bulan.

Sampai akhirnya ketika jam sudah menunjukan pukul setengah 5 sore, teman-teman gue memutuskan untuk pulang, dan gue sendiri pergi ke rumah kak Hessa.

Gue kesini berangkat diantar Sakha, ketua kelas gue. Karena gue lihat mas Satya ketiduran di kamar sewaktu gue mau minta antar. Gue juga gak mau ganggu dia, pasti dia capek tadi pagi habis lari. Jadi, gue berangkat bareng Sakha sekalian dia pulang.

Disini gue sendiri, sudah hampir setengah jam menunggu kak Hessa yang entah mengapa gak datang-datang.

Rumahnya sepi, di kunci, mama dan papanya pasti masih dikantornya masing-masing, dan baru akan pulang ketika hari sudah malam.

Entah mengapa gue merasa kalau kak Hessa benar-benar marah, sebab dari semalam gue udah coba hubungin dia tapi dia sama sekali gak merespon panggilan gue, gak membalas pesan gue, bahkan, dia seperti sengaja mengacuhkan gue.

Gue terduduk di tembok teras rumahnya sekarang, mengayunkan kedua kaki sambil melihat langit senja yang mulai menggelap.

Gue bermonolog dalam hati, sebenarnya sebesar itu kah salah gue atau memang ada sesuatu lain selain kesalahan yang gue buat.

Maksudnya, Gue tahu gue salah, dan bodohnya gue bertingkah seolah gak terjadi apa-apa sampai kak Hessa tahu segala kebenaran dari bukan yang bersangkutan.

Kak Hessa pasti tahu soal itu dari orang lain. Tapi, siapa? Dan tahunya yang kayak apa?

Pusing, mana dari sebulan lalu dia udah aneh sikapnya, di tambah lagi setelah tahun baru.

Seketika, disaat gue lagi meratapi diri gue, samar-samar terdengar suara motor yang sangat gue hafal datang kian mendekat.

Bergegas gue berdiri, mematrikan pandangan kearah pagar, dan benar aja datang seonggok motor yang membuat gue sontak tersenyum.

Itu kak Hessa, yang baru sampai dan memarkirkan motornya di halaman rumah. Entah ini perasaan gue aja atau memang nyata, gue lihat kak Hessa kayak yang kaget tapi di tahan gitu ketika melihat gue.

"Hai." Gue menyapa, sekalian berjalan pelan menghampiri dia yang sudah turun dari motornya.

Dan, jauh dari dugaan gue balasan kak Hessa hanya tersenyum seperti yang gak niat. Dia tersenyum, tapi cuma sekilas dan samar.

Terlihat tulang pipinya yang lebam, ditambah sudut bibirnya yang kering bekas berdarah.

Pantas Niana gak tega lihatnya, gue yang lihat bekasnya sekarang aja gak tega, apalagi dia yang lihat langsung kejadian waktu berantemnya.

"Aku nungguin kamu dari tadi loh, kok baru pulang? Habis dari mana?" Gue berusaha biasa aja, tenang dan santai.

Bukan mau bertingkah seolah gak ada terjadi apa-apa sebelumnya di antara kita, tapi gue cuma pengen gak ada keributan, apalagi posisinya disini gue yang salah.

"Enggak, abis makan tadi." Jawab kak Hessa. Dia bahkan nggak bertanya gue datang sama siapa, jam berapa, kenapa datang tiba-tiba.

Dia cuek banget.

WhiteoutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang