25. Fighting

433 34 6
                                    

"Gimana? Udah cukup belum? Mikir yang enggak-enggak tentang saya?" Tanya gue.

Disini gue tersenyum sendiri, setelah bicara barusan dan menatap bergantian bu Irene, Liza, Ria dan Wiona yang datar wajahnya.

Gak peduli, terkesan senonoh di hadapan bu Irene. Intinya gue gak suka aja diperlakukan kayak gini seolah-olah mereka sengaja ingin memojokan gue sekalipun gue udah pindah.

"Saya pindah sekolah itu dengan alasan yang jelas, bu. Karena keluarga saya yang ikut ayah saya pindah tugas." Ujar gue. "Bukan karena yang enggak-enggak, sampai saya diperlakukan kayak gini."

"Anya,"

"Iya?" Gue menyahut segera. Tersenyum tenang setenang-tenangnya menatap bu Irene yang entah kenapa malah gak lanjut bicara.

Satu tangan bu Irene menjulurkan sebuah test pack bekas gue tadi itu kepada gue. Yang menampakan satu garis, artinya negatif.

"Oke, saya minta maaf atas hal ini."

"Maaf di terima." Gue menyahut lagi, dan lagi-lagi bu Irene nggak lanjut bicara. Malah tersenyum kepada gue, kemudian melirik Liza, Ria dan Wiona bersamaan senyumnya beranjak memudar.

"Kalian ikut saya." Pelan bu Irene, tapi tegas kepada ketiga perempuan disebelahnya.

Terlihat jelas raut wajah ketiga perempuan itu yang mendadak seperti ketakutan. Sambil mengangguk ragu, mereka bertukar tatap bergantian, dan berakhir menatap gue yang tersenyum senang membalas tatapan mereka.

"Ayo!" Bu Irene keluar duluan setelah dia melihat gue, diikuti Liza, Ria dan Wiona yang sempat melontar tatapan gak suka kepada gue, kemudian keluar menyusuli bu Irene.

"Dadaah!" Gue sok akrab ketika mereka balik badan hendak pergi, menjadikan mereka menoleh lagi dan berdecak sinis.

Rasa-rasanya gue ingin mempersembahkan tawa untuk mereka lantaran gak berhasil membuktikan bahwa gue hamil.

Setelah mereka berempat sudah pergi menjauh dari toilet, dan beberapa orang pun sudah kembali memakai toilet ini, gue langsung menghela napas lega yang selega-leganya. Lantaran semua baik-baik aja.

Gue berdiri di depan wastafel toilet, memegang kepala dan menunduk seperti frustasi, kemudian gue melihat cermin.

Tadi, beruntung banget gue teringat sesuatu. Ketika gue memakai test pack itu, gue memakainya dengan air biasa dulu sampai beberapa kali, hingga akhirnya gue pakai urine gue, dan hasilnya keluar dengan sesuai yang diinginkan, negatif.

Gue tahu soal itu karena pernah baca disalah satu buku, dan pernah tahu juga dari sepupu gue yang sekarang menjadi bidan dan dia pernah cerita. Katanya, kalau test pack sudah terkontaminasi cairan biasa, itu bisa membuat test pack mengeluarkan hasil yang tidak akurat ketika dipakai dengan urine.

Beruntung tadi gue mengingat itu.

Setelah beberapa detik kemudian mulai datang kembali anak-anak perempuan ke dalam toilet ini. Bergegas gue bertingkah biasa, melihat mereka dan tersenyum. Gue merapikan rambut gue sebentar lalu keluar.

Lanjut berjalan menuju kantin karena teringat dengan kak Hessa. Ah, mungkin dia udah kelamaan nunggu gue disana. Gara-gara Liza beserta ketiga antek-anteknya.

Gue merogoh tas selempang gue, berniat mengambil ponsel untuk menghubungi kak Hessa yang mungkin udah mengirimi gue banyak pesan, bertanya gue lagi dimana.

Tapi, satu suara memberhentikan gue.

"Anya!!"

Demi apapun kalau itu Liza, Ria, atau Wiona, atau bahkan kak Sofi, gue bakal lanjut jalan. Tapi, gue dengar itu bukan suara perempuan.

WhiteoutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang