37🌥️

366 31 6
                                    

37. Nayara, ayo cerai



Hari ini Gilang sudah kembali sekolah, meski sebenarnya Mama dan papa melarangnya. Gilang tetaplah Gilang si keras kepala.

Sebenarnya Nayara sudah melarang, namun apalah daya, Gilang malah memarahi Nayara dan mengatai Nayara ikut campur tentang hidupnya. Nayara hanya pasrah, dan diam tidak banyak bicara lagi.

Sarapan sudah tertata rapih di meja, Nayara tersenyum cerah menatap masakan spesial yang telah ia buat untuk Gilang. Sederhana, namun Gilang sangat menyukai makanan itu.

Hanya nasi goreng kecap yang dipadukan beberapa bumbu dengan toping telor ceplok, kol yang di iris kecil-kecil, serta sayuran timun dan tomat sebagai pelengkap. Gilang sangat menyukai itu, tapi tidak tahu sekarang, apa laki-laki itu masih menyukainya?

Suara derap langkah membuat Nayara menoleh ke arah tangga, Gilang menghampirinya dengan raut wajah datar. "Sarapan dulu yu Gi," Nayara tersenyum menyambut kedatangan suaminya itu.

Gilang tak menyahut, cowok itu langsung menarik kursi dan duduk di seberang Nayara. Laki-laki itu berdehem dengan mata menatap Nayara, kemudian menyeruput susu coklat kesukaannya itu.

Mata Nayara tak lepas dari objek didepannya, ia tersenyum menatap Gilang. "Nasi gorengnya dimakan Gi, itu kesukaan kamu lhoo," Gilang mengangkat kepalanya, menatap Nayara dengan malas. "Gue nggak pernah suka masakan orang asing," ucapnya, begitu menyakiti hati Nayara.

Hati Nayara merasa sakit, tapi Nayara tak bisa apa-apa selain diam. Ia memaksakan bibirnya untuk tersenyum meski rasanya sangat amat sakit. "Aku bukan orang asing Gilang ..., Aku istri kamu," tutur Nayara dengan lembut.

Gilang menatap Nayara dengan tatapan tajam, ia berdecih setelahnya. "Persetanan dengan status istri itu!"

Nayara diam di tempatnya, bahkan nasi goreng di depannya sudah tak ada selera lagi untuk ia makan. "Setidaknya kamu hargai masakan aku," cicit Nayara pelan. "Aku tahu saat ini kamu nggak ingat aku, tapi ... coba sedikit aja bersikap sewajarnya,"

Mata yang dulu selalu menatapnya penuh binar dan tulus kini memancarkan aura marah yang sangat besar sepertinya. "Lo capek sama sikap gue?"

Nayara diam tak menyahut, kepala cewek itu tertunduk menatap tangannya yang saling bertaut.

"Jawab!"

Nayara terlonjak kaget, tubuhnya bergetar begitu bentakan itu keluar dari mulut Gilang. Matanya memanas, perlahan air matanya keluar tanpa bisa ia cegah, setelah lama ia tidak mendengar bentakan dari mulut Gilang, kini ia mendengarnya kembali. Gilang kembali membuatnya takut.

Nayara tak berani menyahut, bibirnya terkunci dengan badan bergetar, mulutnya mengeluarkan isakan kecil yang begitu amat menyakitkan.

Segelas susu tinggal setengahnya, Gilang bangkit dari duduknya. Kemudian menatap sekilas cewek bernama Nayara yang tengah menunduk dengan badan beregtar.

Gilang tebak, pasti cewek itu sedang menangis?

Apakah Gilang begitu kejam, sampai-sampai cewek bernama Nayara menangis lagi karenanya?

Apa cewek itu hobi menangis? Perasaan Gilang sudah tiga kali melihat cewek itu menangis.

Sebelum benar-benar pergi, Gilang menoleh menatap Nayara dengan tatapan kosong. "Nayara, ayo cerai."






🐳🐳




Nayara seperti orang bingung, melamun tak jelas dengan wajah yang begitu banyak menyimpan luka. Sudah tiga pelajaran terlewatkan dan sudah tiga orang guru menegurnya karena tak fokus pada saat guru memberikan materi.

Bagaimana bisa Nayara fokus? Sementara dirinya terngiang-ngiang akan kalimat yang keluar dari mulut Gilang saat pagi tadi.

"Nayara, ayo cerai."

Air mata itu kembali jatuh tanpa diminta, Nayara mengusap wajahnya yang begitu lelah, ia tertunduk dengan perasaan yang begitu campur aduk. Nayara benar-benar bingung menanggapi ini semua.

Sekasar, sebrengsek, dan sejahat apapun Gilang padanya, Nayara tak pernah ingin berpisah dari laki-laki itu. Benar-benar tak pernah terpikir di benaknya, jika laki-laki itu akan mengajaknya berpisah.

Apa mungkin ini adalah jalan terbaik untuk keduanya?

Nayara tak tahu jika dirinya benar-benar berpisah dengan Gilang. Nayara tak bisa membayangkan itu. Sangat menyakitkan jika harus dibayangkan, Nayara benar-benar tak bisa.

Nayara menatap layar ponselnya, menampilkan foto dirinya dan Gilang yang tengah jalan saat itu. Ia tersenyum, mengusap foto itu dengan penuh sayang.

Nayara kembali menangis tanpa suara, nyatanya itu benar-benar menyakitkan. "Aku nggak bisa Gilang ...," Nayara bersuara di sela-sela tangisannya.

Mungkin Nayara akan mencoba untuk bertahan saat ini, tidak ada salahnya juga bukan?

Karena jika Nayara menyetujui itu, pastinya Nayara akan kehilangan Gilangnya, Nayara tidak akan membiarkan itu terjadi. Nayara tak akan pernah mau.

Nayara terkesiap saat mendengar suara buku jatuh, ia buru-buru mengusap air matanya karena takut ketahuan orang. Cewek itu mengubah posisi duduknya menjadi membelakangi rak buku.

Suara derap langkah itu semakin jelas di telinga Nayara, membuat cewek itu mati-matian menahan diri supaya tidak mengeluarkan isak.

"Naya,"

Nayara membeku, dengan cepat ia menoleh dengan wajah ling lung yang di buat-buat. "Ya," Nayara mengangkat kepalanya, menatap cowok di depannya yang ia kenali.

Dahi laki-laki itu mengerut, tangannya memegang kedua bahu Nayara. "Lo kenapa Nay?" Suaranya terdengar khawatir.

Nayara menunduk, menatap lantai perpustakaan setelahnya ia menggeleng dengan sudut bibir tertarik membentuk senyuman. "Gue nggak papa,"

"Lo abis nangis ya?" Tanya laki-laki itu menyelidik.

Nayara diam sebenatar, ia mengangguk dengan pelan. "Iya, tadi gue kejepit pintu hehe," laki-laki itu diam mendengar penuturan Nayara, seperti ada sesuatu yang aneh.

Laki-laki itu mengangguk, kemudian ikut duduk di samping Nayara. "Beneran?" Lagi-lagi nadanya terdengar seperti khawatir.

Nayara mengangguk dengan semangat, walaupun sebenarnya ia ingin menangis melihat dirinya saat ini. "Iyaa ihh benerrrr, suwer nggak boong,"

Laki-laki itu mengangguk, mungkin memang benar Nayara tudak menyembunyikan apa-apa, tapi rasanya masih ada yang aneh walaupun ia tidak mengenal Nayara dengan begitu dekat.

"Ngapain kesini Ki? Tumben nggak gabung sama yang lain," Nayara menyimpan bukunya, ia melirik laki-laki di sampingnya yang sedang memilih buku. Laki-laki itu menoleh, "tadinya abis ini mau nyamperin anak-anak Mbak Nay, cuman gue liat Lo jadi kesini deh,"

Nayara mengangguk, "yaudah sana, pasti udah di tungguin," Laki-laki itu mengangguk, menyimpan kembali buku yang tadinya akan ia baca. "Lho, ko di simpen lagi?"

Laki-laki itu tersenyum lebar, "nggak jadi ah, males bacanya," Nayara menggelengkan kepalanya, ia jadi teringat momen saat Gilang tak jadi membaca buku karena alasan  yang sama.

"Oh, ya, emmm... Gilang ada?" Nayara mengadah, menatap laki-laki itu. Laki-laki itu mengangguk. "Ada. Kenapa? Kangen yaa?"

Nayara tersenyum kecut, "nggak ada kangen kangenan Ki. Beda jauh sekarang mah," laki-laki itu terdiam, merasa bersalah karena membuat Nayara seperti itu. "Gue nggak bermaksud mbak Naya,"

Nayara menghela nafasnya, ia mengangguk dengan senyum lebar. "Iya. Gue ngerti ko, okayy nggak apa-apa."

"Nay,"

"Beneran nggak papa, Oki," Nayara menggeleng. Laki-laki yang Nayara sebut Oki itu terdiam dengan kepala menunduk, beberapa saat kemudian Oki mengangkat kepalanya, sepasang mata itu menatap Nayara dengan tatapan yang begitu tulus. "Gue tau Lo ada masalah,"










🐳🐳


















Maksain bgt buat up, hahaha









19/01/2022

CERITA KITA ( ON GOING )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang