Prolog

484 68 105
                                    

“Laksanakan.”

Mendengar suara penuh wibawa itu, lelaki dengan rambut kecokelatan yang berantakan pun membalikkan badan dan segera menghadap ke arah Layang--daerah yang dipimpinnya berdasarkan keputusan sang Raja. Layang yang begitu ia cintai … kini bisa saja dimusnahkan dalam sekejap karena kesalahan yang dilakukan oleh satu orang.

Satu makhluk yang menimbulkan masalah, satu daerah yang terkena dampaknya.

Ia sangat menyayangi penduduk di Layang dan juga sosok tersebut, yang merupakan anugerah juga beban titipan dari Semesta kepadanya. Ia selalu mengira bahwa ia sudah mendidik sosok itu dengan baik. Ia yakin bahwa sosok itu tidak akan mewarisi sifat adiknya yang membelot dan dipenjara di pengasingan yang sangatlah jauh letaknya. Bahkan lebih buruk lagi, sosok itu kini sudah lolos dari jangkauan, menghilang entah ke mana.

Dengan menutup mata dan mengatur napasnya yang sesak, ia berjalan perlahan hingga sampai di pintu masuk Kota Layang. Ia melewati gerbang yang terbuka lebar itu dengan wajah yang keruh. Tak satu pun emosi dapat menjabarkan betapa campur aduknya perasaan dalam diri.

“Manca sudah kembali!”

“Kau sudah pulang, Manca!”

“Kami senang melihatmu tampak sehat, Manca.”

Beberapa warga bersorak gembira dan berlari ke arah Manca yang masih enggan membuka kelopak mata. Bahkan seseorang sudah menghampiri Manca dan mengalungkan sebuah rangkaian bunga di leher lelaki itu, membuat pertahanannya runtuh dan kedua matanya terbuka.

“Manca, adikku merangkaikan bunga ini khusus untukmu.” Hal pertama yang Manca temukan adalah wajah seorang anak kecil dalam gendongan yang tersenyum semringah. Sesaat setelah bersitatap dengan Manca, anak kecil itu mulai kehilangan euforianya lalu menangis kencang. Seluruh perhatian penduduk pun tertuju pada pemimpin mereka yang anehnya membuat anak kecil seperti ketakutan tujuh turunan, padahal biasanya selalu memberikan kebahagiaan pada sosok-sosok mungil tersebut.

Sepasang iris yang begitu hijau dan segar itu tak lagi tampak indah dan menenangkan. Setiap orang yang menatapnya merasakan sakit yang serupa. Bagaimana tidak? Mata yang biasanya memancarkan wibawa dan cinta itu kini keruh dan manik zambrudnya seperti terbakar oleh rona merah dari pembuluh-pembuluh darah yang wujudnya bagaikan nyala api. Belum lagi bulir-bulir bening yang mulai mengalir dari kelopak matanya hingga membasahi pipi dan menggantung di dagu.

Sosok yang selalu mereka puji akan keindahannya kini tampak hancur. Meski tak mengucapkan sepatah kata pun, semua terlihat jelas hanya dengan melihat matanya yang tak lagi bercahaya. Euforia yang mereka rasakan sirna seketika, ibarat tersambar petir di siang hari yang begitu cerah dan hujan mengguyur tanpa peringatan.

“Maaf … kan aku, ini hal terbaik … yang bisa kita lakukan.” Dengan suara parau yang mengiris telinga siapa pun yang mendengarnya, Manca mengangkat tangannya ke angkasa dan menatap ke atas. Ia berusaha membendung tangisan yang hendak tumpah dan jatuh ke tanah yang ia pijaki. Semua yang melihat Manca yang tampak lemah tak berdaya itu menundukkan kepala, bahkan ada yang turut mengucurkan air mata dengan begitu deras saat melihat langit yang mulai menggelap dan angin bertiup kencang seperti menjadi sebuah pertanda ada yang tidak baik-baik saja.

“Manca, Manca … apa yang terjadi? Kau bisa ceritakan semua pada kami.”

“Manca, ini seperti bukan dirimu yang biasa. Tolong jangan membuat kami takut!”

Lelaki dengan rambut panjang yang terikat rapi itu berhenti mendongak dan mengukir sebuah senyuman yang bukan senyuman yang biasa ia tunjukkan pada dunia.

“Aku ….” Manca menggantungkan kalimatnya sambil menatap seluruh wajah yang balik menatapnya dengan pandangan gelisah. “Manca, putra dari Barito, sudah berjanji pada Baginda Raja Kaliangan, bahwa aku akan menebus kesalahan. Layang akan menemani sang Putri, menjaganya, dan turut turun ke bumi untuk seratus tahun ke depan.”

Sakha dan Batu AngkasaWhere stories live. Discover now