BAB 9 - Meragu

56 16 0
                                    

"Tidak, Sakha kau harus berpikiran positif. Seharusnya tidak seperti itu. Kita tinggal menunggu pintu-pintu bermunculan. Harusnya tidak akan lama lagi...."

Bamasya mencoba menenangkan Sakha, namun ia sendiri justru terlihat seperti orang yang perlu diberikan ketenangan. Ia menghela napas pelan lalu menghirupnya lagi dengan kasar. Meraup udara dengan begitu rakus, Bamasya kemudian menghempaskannya lagi. Sakha yang melihatnya justru jadi lelah sendiri.

Berbeda dengan Akasa yang sibuk berjalan kesana kemari sambil membawa Bruno dalam pelukannya. Sama seperti Sakha yang merasa lelah, Bruno nampak anteng dan diam saja dalam pelukan Akasa. Bedanya Sakha hanya duduk di sebuah batang pohon sambil mengelus pundak Bamasya yang nampak naik turun setiap beberapa waktu. Sekarang siapa yang terlihat seperti ayah dan anak?

"Paman, anda harus tenang sedikit. Aku juga yakin kalau kita harusnya bisa keluar dari sini segera mungkin. Apakah memang tidak ada jalan lain?"

Pertanyaan Sakha berhasil membuat Bamasya menengadah. Raut wajahnya nampak kosong dan hanya memandang Sakha dengan intens. Sakha bisa meyakini bahwa pria itu sedang berpikir keras, terbukti dari tetesan peluh yang mulai mengalir dari ubun-ubunnya.

"Sepertinya ada, tapi itu terjadi jika ada yang membuka pintu yang pernah aku lewati. Seperti beberapa spot yang pernah aku tempati—OH, BUKANNYA PRITHA MASUK PENJARA?? Kita sepertinya harus menunggu dia keluar dulu baru bisa dia membuka pintu dari luar, soalnya ada satu pintu di ruang kerjanya—tapi jika dia masih di penjara, bagaimana bisa ada yang membuka pintu di rumahnya."

Bamasya kembali menunduk. Sama seperti Akasa, raut wajahnya berubah begitu cepat. Bedanya, ia tidak memancarkan sinar yang menyala dan redup setiap perubahan ekspresinya terjadi.

"Rumah Pritha terkunci? Apa tidak ada pasien yang datang ke kliniknya?" Bamasya menggeleng sebagai jawaban.

"Tapi biasanya ada pekerja sambilan yang datang ke tempatnya setiap sore untuk membersihkan ruang kerjanya—AH, PEKERJA SAMBILAN ITU MUNGKIN BISA MEMBANTU KITA! Tapi bagaimana bisa kita memberitahunya untuk membuka pintunya." Pria berbadan besar itu kembali memasang pose berpikir: jari-jari meragu di dagu, kedua ujung depan alis tebalnya bertemu, dan kulit dahinya mengerut.

"Mungkin kita bisa menghubunginya dengan sesuatu seperti ponsel?"

Bamasya menggeleng mendengarnya. "Tidak ada jaringan yang terhubung keluar dari daerah perantara, memang itulah kekurangan gadget ini."

"Sepertinya tak ada harapan atau kita harus menunggu?"

Bamasya kembali nampak lesu, ia kembali terduduk di atas batang pohon dan menunduk.

"—Ayah! Sakha! Lihatlah kemari!"

Teriakan Akasa terdengar dari kejauhan. Ia melambai-lambaikan tangannya begitu Bamasya dan Sakha melirik ke arahnya. Kemudian Akasa menunjuk ke arah belakangnya. Di sana ada sebuah pintu mewah berwarna putih gading yang berdiri sendirian di tengah-tengah ilalang.

Bamasya tersenyum haru, Sakha turut senang melihatnya. Keduanya langsung berlari ke arah Akasa dengan tergesa. Bahkan Bamasya hampir terjungkal saat menemukan ranting-ranting di tanah yang ia pijak.

"Aku menemukan pintu ini, tapi aku tidak bisa membukanya sama sekali!"

Akasa bercerita, meskipun sedikit kecewa akan bagaimana pintu itu masih tertutup rapat walau Akasa menabrakkan tubuhnya beberapa kali. Bahkan sampai pemuda itu mengaduh kesakitan dan menemukan bahunya memerah saat ia membuka sedikit kemeja putih polos yang ia kenalan.

"Pintu ini tidak pernah ada di dalam riwayat gadget ku, apa kau yakin kita tidak sedang dibohongi?" Bamasya kembali menaruh jari-jarinya di dagu, merasa sedikit ragu akan kehadiran pintu putih bercorak emas yang nampak begitu mewah dan mencurigakan.

Sakha dan Batu AngkasaWhere stories live. Discover now