BAB 6 - Darah Biru Muda.

134 20 3
                                    

"Paduka, anak itu sudah tiba di Kaliangan."

Sosok berjubah yang seluruh wajahnya ditutupi kain hitam tipis itu duduk di lantai. Ia menundukkan kepala, tak berani menghadap sosok yang duduk di singgasana; sosok yang kedua kakinya dipenuhi lantai yang melilit.

"Sepertinya sebentar lagi permainan kita akan dimulai. Tetap perketat keamanan tahanan kesayangan kita. Jangan sampai dia mendengar kabar gembira ini, atau akan ada keributan yang tidak seharusnya."

Suara itu lantang dan tegas, tetapi juga bernada jenaka. Kendati demikian, wajahnya menegang dan ekspresinya serius. Seringainya perlahan memudar sembari ia meremas rantai di tangan kursinya. Ia mengentakkan rantai tersebut hingga mengenai sosok yang menunduk di hadapannya kala sosok itu berani menaikkan sedikit kepalanya.

"Kau boleh pergi." Ia berujar pelan dengan senyuman miring setelah rantainya berhasil mengenai sebelah mata milik bawahannya itu. Percikan darah berwarna hitam mulai menetes hingga membasahi lantai. Dengan perlahan ia menyapunya dengan kedua tangan lalu berbalik tubuh—masih membungkuk ke bawah, kemudian ia berlari perlahan.

Sebuah tawa menggelegar, datang dari arah singgasana.

"Kau mendengarnya, Ina? Anak yang seharusnya tak pernah ada itu kini datang ke negeri orang. Anak yang akan menjadi bukti peperangan besar antara Kalajana dan Kaliangan. Orang yang sudah kutunggu-tunggu selama ini telah tiba!"

Ia tak henti tertawa. Suaranya menggema ke seluruh ruangan gelap bernuansa merah marun dan hitam. Bahkan seluruh penjaga di pinggir pintu pun bergidik ngeri dan berusaha menahan sakit pada telinga masing-masing. Tawa itu diiringi pekikan dan jeritan. Sosok dengan rambut hitam yang poninya menutupi sebelah wajah itu kembali mengentakkan rantai. Orang-orang yang tiarap di bawah kakinya pun terombang-ambing bak di atas gelombang. Tidak hanya satu dari mereka yang menjerit kesakitan. Jeritnya sahut bersahutan. Semakin nyaring jeritannya, semakin intens rantainya melecut.

"Ayo, mohon ampunlah kepadaku—HAHAHAHAHA!"

"Ampuni kami, Yang Mulia Adi Balan."

"Pangeran Adi Balan, maafkan kami!"

Mereka terus meronta-ronta kala rantai itu menghantam tubuh mereka, tak lupa terus menyebutkan nama Adi Balan—sang pangeran penguasa Kalajana. Sosok yang terkenal akan kekejiannya, seorang penguasa tirani berdarah dingin yang tak bisa melihat sedikit ketidaksempurnaan.

***

"Jadi, aku Akasa Bima, ini ayahku Bamasya Bima dan perempuan mengerikan ini Pritha si pintar yang gila—aw, sakit!" Akasa mengaduh begitu si perempuan berambut pirang dengan poni yang dipotong rata sedahi itu menjitaknya. 

"Kalau memuji jangan setengah-setengah." Pritha lalu menatap Sakha datar. Sedikit tidak bersahabat dan tidak peduli. Namun, gadis itu menyodorkan tangannya yang langsung disambut Sakha. 

"Pritha Intanmarta."

"Sakha Rindualam."

Belum Sakha lepaskan, Akasa sudah meraih tangannya dan menggenggamnya dengan senyum yang dibuat-buat. Tak lama justru Bamasya melakukan hal serupa dengan menepis tangan Akasa.

"Aku takut orientasimu berubah kalau terlalu lama bersentuhan dengannya." Pria berbadan besar itu tersenyum tipis ke arah Sakha. Matanya menyipit, tetapi Sakha bisa melihat bagaimana Bamasya menatapnya dengan begitu ramah.

"Baiklah Sakha, sepertinya seharusnya Akasa dan Pritha meminta maaf padamu. Sekarang kalian bawa Sakha keliling Kaliangan, ayo-ayo!" Bamasya meraih bahu Akasa dan Pritha, lalu mendorong keduanya ke arah Sakha.  

Sakha dan Batu AngkasaWhere stories live. Discover now