BAB 2 - Ada, tapi Tiada.

235 49 14
                                    

Hilman mengisyaratkan pada Hanung untuk membuka sebuah laci yang ada di belakangnya dan membawakan sebuah kotak lalu menaruhnya di lantai. Hilman pun langsung menendang pelan kotak itu, hingga terbuka dan isinya berserakan.

Sakha segera merapikan kertas-kertas yang ada di hadapannya dan mengenali tulisan tangannya sendiri.

"Se-selama ini surat-"

"Ayahmu menitipkan surat-surat bodohnya padaku, untuk dikirimkan padamu setiap bulan." Hilman pun turut bersimpuh dan merapikan kertas-kertas yang ada di lantai.

"La-lalu ... di mana dia?"

Hilman menyerahkan surat-surat yang ia putik kepada Sakha sambil menghela napas pelan. Ia menatap sepasang bola mata lelaki muda itu yang berwarna biru kehijauan. Hampir biru sepenuhnya, mengingatkannya dengan warna mata seseorang yang merupakan bagian dari masa lalunya.

"Kau lebih mirip dengan ibumu, meski fisikmu juga mencerminkan ayahmu." Kalimat itu Hilman lontarkan begitu saja dengan tatapan yang dalam dan tertuju pada Sakha.

"Anda juga tahu soal ibuku." Sakha balas menatapnya dengan ekspresi yang menyiratkan kecurigaan. "Sebenarnya siapa Anda? Kenapa Anda banyak tahu tentang ayah dan surat-surat ini ... bahkan ibuku."

"Itu tidaklah penting. Sekarang kau harus beristirahat dan besok aku akan mengantarkanmu ke tempat yang sudah dijanjikan oleh ayahmu." Hilman berdiri dan meninggalkan Sakha yang masih bersimpuh sambil merengkuh kumpulan surat-surat balasan yang ia tulis sendiri--yang selama ini ternyata tak pernah tersampaikan padanya.

"Sakha, ayo aku antarkan ke kamarmu." Hanung turut berjongkok dan merapikan surat-surat Sakha, meletakkannya ke dalam sebuah kotak jati kecil yang ada di depannya.

"Kau tahu sesuatu, Hanung?" Sakha mendongak dan menatap gadis itu yang dibalas gelengan pelan.

"Aku tidak tahu apa pun yang kau bicarakan dengan Kakek, tapi aku ingat kalau aku tidak mengusirmu malam ini juga." Gadis itu menyodorkan kotak kayu jati berisikan surat kepada Sakha yang terdiam.

"Simpanlah. Aku sangat muak setiap bulan harus membacakannya dengan lantang pada Kakek yang penglihatannya sudah minus." Sakha yang tak kunjung menerima sodorannya membuat Hanung naik pitam dan malah meletakkannya dengan paksa di antara kedua tangannya.

Saat gadis itu hendak melangkah pergi, ia justru berhenti dan berbalik. Ia berdecak kesal melihat Sakha yang masih dalam posisinya, masih saja menatap ke kotak jati yang kini ada dalam genggamannya.

"Hei anak manja, mau digendong ke tempat tidur atau mau dinyanyikan Nina Bobo?" Hanung mendekati Sakha dan menepuk pelan pundak pemuda itu. Sakha langsung tersentak dan berkedip beberapa kali.

"Dih, ternyata hanya melamun, kukira mau kerasukan. Percuma khawatir." Hanung pun langsung meraih kerah kemeja berbahan wol yang Sakha kenakan dan menyeret pemuda itu. Tak lupa ia juga menarik koper yang letaknya tak jauh dari tempat Sakha bersimpuh tadinya.

"H-hah?" Sakha yang merasa tak bertenaga hanya bisa menganga mendapati tubuhnya terseret dengan begitu mudahnya oleh Hanung yang sebenarnya bertubuh mungil dan lebih kurus ketimbang dirinya.

"Jangan banyak tanya. Aku memang sudah dilatih agar menjadi perempuan yang kuat. Meski memang badanku kecil, tenagaku patut diacungi jempol."

Kendati berkata demikian, sesampainya keduanya di depan pintu kamar tamu, Hanung sudah ngos-ngosan seperti berlarian mengelilingi hutan.

"Hah, kau berat juga," komentarnya sambil membungkuk dan memegang lutut. Ia mengatur napasnya yang memburu.

"Tubuhku ukurannya dua kali dirimu, mungkin ...?" Sakha menggantungkan kalimatnya, takut salah berkata kepada gadis di hadapannya. "Dan aku masih bisa berdiri, bukannya tidak bisa berjalan sama sekali, Nung."

Sakha dan Batu AngkasaWhere stories live. Discover now