BAB 1 - Desaku Layang, Desaku hilang.

348 55 152
                                    

Laki-laki itu mengacak-acak rambutnya frustrasi. Ia melepaskan kacamata dan menggantungnya di saku kemeja yang ia kenakan. Terlarut dalam kebingungan, ia memutuskan untuk duduk di atas kopernya yang berdiri tegak di atas tanah. Laki-laki itu menatap tak percaya akan pemandangan yang ada di hadapannya; sebuah hutan rimba yang begitu lebat nan asing dalam ingatan.

"Aku tidak percaya ... bagaimana bisa kampung halaman ... dan terlebih lagi, ayahku juga—entah bagaimana kejadiannya—ini sangatlah tidak masuk akal." Ia mendongak lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kemudian ia memegang sebuah kalung pemberian sang ayah yang liontinnya berbentuk layaknya sayap. Satu-satunya kenangan yang membuatnya merasa bahwa letak desanya ini bukanlah mimpi atau khayalannya sendiri. Sayap adalah lambang dari desanya. Orang-orang sering sekali menggunakannya untuk acara adat ataupun sekadar untuk corak pakaian.

Sakha menghela napas panjang. Sudah susah payah ia menaiki dua pesawat, kereta, lalu berjalan kaki dan hanya menemukan sebuah hutan belantara di penghujung jalan setapak yang ia lewati. Rasanya ia masih mengingat adanya jembatan gantung yang menghubungkan jurang dan gerbang masuk desa. Kini di seberang jurang hanya ada hutan belantara, bahkan tidak ada lagi perairan yang dulu mengalir begitu derasnya.

"Tentu tak masuk akal, aku juga menolak mempercayainya." Laki-laki berkulit gelap dengan warna semanis madu itu pun menoleh dan menemukan seorang kakek tua yang berjalan perlahan mendekatinya.

"Anda ... yang dari desa itu, kan?" Ia mengingat-ingat lagi. Ada seorang kakek tua dengan wajah berkeriput yang tak henti-hentinya menatapnya sambil mengerutkan alis saat ia berbincang dengan kepala desa dari permukiman yang berada persis di depan jalan masuk ke hutan.

"Kau pasti penasaran bagaimana bisa ayahmu dan orang-orang dari Desa Layang tak lagi ada di ujung jalan ini, bukan?" Bukannya membalas pertanyaannya, kakek tersebut justru balas memberikan pernyataan yang membuat lawan bicaranya membelalakkan mata bahkan terjatuh dari koper yang didudukinya.

"A-anda tahu Desa Layang? Ah, tidak, Anda tahu soal ayahku, di mana dia?!" Kakek itu mengangguk, membuat laki-laki dengan rambut hitam kecokelatan yang berantakan itu tersenyum semringah seolah memenangkan lotre berhadiah ratusan juta.

"Kalau begitu aku tak salah mengenalimu, Sakha." Kakek tersebut tersenyum kecil. "Ikutlah denganku, akan kuceritakan semua yang kutahu." Ia pun membalikkan badan dan mulai melangkah menjauh, meninggalkan laki-laki bernama Sakha tersebut yang kemudian mengambil kopernya dan berjalan menyusul orang tua itu.

"Anda juga tahu namaku?" Sakha memelankan langkahnya begitu sudah berdekatan dengan kakek yang berjalan di depannya.

"Aku hanya mendengarnya samar-samar saat kau menghampiri keponakanku. Aku tidak benar-benar mengingat namamu yang selalu ayahmu bangga-banggakan itu."

Sakha tersenyum mendengarnya, hatinya menghangat.

"Lalu, sekarang di mana ayahku?"

Kakek berhenti melangkah, membuat Sakha juga menghentikan langkahnya dengan segera sebelum menabraknya.

"Aku tidak tahu di mana tepatnya. Pastinya dia sudah tidak lagi di bumi ini." Ucapan dari kakek itu membuat Sakha terdiam di tempat. Pikirannya melayang. Rasanya baru sedetik yang lalu ada gerumulan kupu-kupu yang menyalakan api bahagia dalam perutnya. Kini api tersebut padam saat kupu-kupu meninggalkannya dalam sekejab.

Apakah ... ayahnya sudah meninggal?

Kapan ...?

Ia ingat betul bahwa dua bulan yang lalu ayahnya masih mengiriminya surat. Hanya saja, bulan ini ayahnya tidak mengirimkan balasan sama sekali. Jika ayahnya meninggal, bukannya masih ada tetangga yang bisa saja mengabarinya?

Sakha dan Batu AngkasaWhere stories live. Discover now