BAB 4 - Semesta yang Berbeda

163 33 21
                                    

Kala kedua bola matanya terbuka, Sakha mendapati dirinya berada di sebuah kasur yang terbilang empuk dan hangat.

"Hanung? Kakek?"

Ia mengira dirinya masih ada di rumah Hilman. Namun, ia menyadari bahwa interior ruangan yang ia tempati sangatlah jauh berbeda dengan yang sebelumnya. Sakha mendudukkan tubuhnya sambil memerhatikan sekitarnya, membuatnya yakin bahwa ia hanya berhalusinasi terbangun di kamar yang disediakan oleh Hanung di rumah Hilman. Sepertinya Sakha sedikit merindukan keduanya, meski baru akhir-akhir ini mengenal mereka dan berpisah begitu cepat.

"Kau sudah bangun?"

Sebuah suara berat yang ia yakini bukanlah suara Hilman apalagi Hanung membuat Sakha menoleh ke arah pintu di sudut kiri. Ia mendapati seorang laki-laki berambut biru muda yang berdiri di ambang pintu. Kedua tangannya memegang nampan dengan erat seolah benda itu bisa saja jatuh jika ia salah melangkah. Semerbak wangi khas hidangan berkuah yang ada di atas nampan memenuhi ruangan. Hidung Sakha rasanya terhipnotis dan perutnya seketika mengirimkan sinyal ke otaknya dengan begitu cepat. Bunyi alarm yang menggema hingga tertangkap oleh pendengaran Akasa membuat Sakha membuang wajahnya. Akasa mengulum senyum kecil. Rasanya ketegangan yang tadi membuatnya hampir tak bisa bernapas seketika sirna. Dengan santainya ia menaruh nampan di atas nakas samping tempat tidur.

"Seperti yang kau lihat." Sakha memasang senyum getir. Ia melemparkan tatapan sinis begitu sepasang mata mereka bertemu. Ia jadi teringat akan kejadian kemarin. Kronologis bagaimana sosok ini membuatnya juga nyaris terbunuh dua kali. Kejadian itu cukup membekas dalam ingatan Sakha. Ia hampir terlupa. Namun, hanya dengan melihat wajah bersalah Akasa, ia langsung mengingat segalanya. Rasanya seperti mengalaminya kembali. Kilas balik yang Sakha alami cukup realistis dan detail. Seperti bagaimana Akasa yang kemarin tampak tak mempercayainya, Sakha balas tak ingin percaya meski Akasa memberikannya tempat beristirahat juga semangkuk hidangan yang cukup menggugah selera. Meski perutnya mengaduh kelaparan, Sakha tidak mau menurunkan gengsinya hanya karena makanan. Rasanya sama saja seperti disuap.

"Maafkan aku, sekali lagi. Nona Ningsih sangatlah sensitif akan portal layang. Aku harus berbohong sedikit." Akasa berujar sambil memasang senyum miring yang memperlihatkan sebagian giginya. Kedua bola matanya menyorotkan penyesalan. Ia juga mengangkat sebelah tangannya, membuat gerakan berulang dengan ujung jempol dan telunjuknya yang bertemu.

Melihatnya, Sakha jadi mengesampingkan ego dan emosinya. Semudah itu gengsinya runtuh. Ia merasa kasihan dan menemukan kesungguhan dari sepasang bola mata berwarna biru cerah milik Akasa. Bisa dibilang Sakha luluh, ia tidak tahan dan terlalu lemah. Padahal tadinya ia merasa ingin berlaku tegas. Namun, ia juga yang tak mampu menahan simpati.

Sekiranya ... ia tak melakukannya karena tergoda akan semangkuk kuah sedap yang Akasa sediakan, bukan?

"Aku tidak paham apa masalah kalian, tapi di situ aku hampir mati. Jadi ... akan sulit untuk memaafkanmu, tapi berdoa sajalah aku bisa mengikhlaskan." Mendengarnya, Akasa yang tadi menundukkan kepala pun langsung mendongak dan melebarkan senyuman. Jujur, Sakha harus akui prosesi merekahnya sebuah senyuman di wajah Akasa membuatnya kesilauan. Bahkan suasana kamar yang hanya mendapatkan sedikit pencahayaan dari ventilasi pun seketika terang benderang. Sakha merasa seperti terbutakan. Ia mengerjap beberapa kali dibuatnya.

Begitu senyuman Akasa perlahan pudar, seluruh cahaya yang menyertainya turut meredup. Seolah-olah suasana hatinya mempengaruhi cuaca. Namun, Sakha merasa hal itu mustahil. Mungkin itu hanya halusinasi Sakha. Akhir-akhir ini ia merasa aneh semenjak kehilangan kontak dengan ayahnya.

Pergi ke Desa Saijaan dan malah terjebak di antah berantah yang penuh kegilaan. Semuanya tidak masuk akal. Apakah Sakha memang sudah berada di surga dan mati terjatuh di jurang?

Sakha dan Batu AngkasaWhere stories live. Discover now