BAB 17 - Mencapai Layang

32 7 0
                                    

Setelah menghabiskan waktu hampir setengah hari di udara, Bamasya memutuskan untuk singgah sebentar di sebuah pulau kecil yang dipenuhi pepohonan. Hari mulai gelap. Dan tanpa sinar matahari, mereka mungkin saja kehilangan sumber daya mobil di tengah perjalanan dan kemungkinan saja terjatuh ke langit yang tanpa ujung.

Disebut langit tanpa ujung karena memang tak memiliki ujung. Banyak yang berspekulasi jika terjatuh kesana, maka akan langsung dikirimkan ke neraka. Tidak ada yang pernah tahu bagaimana kondisi di bawah sana, bahkan Raja Kaliangan sendiri pun tak pernah memberikan titah ekspedisi untuk mencari tahu. Tekanan udara yang diyakini rendah membuatnya melarang warga untuk terbang ke bawah sana. Juga tarikan gravitasi dan hawa aneh yang datang dari bawah membuat banyak pihak yang bergidik ngeri hanya untuk sekadar melirik. Sakha akhirnya mendapatkan jawaban dari kegundahannya yang berpikiran apa yang terjadi jika ia benar-benar dijatuhkan oleh Ningsih ke bawah sana. Akasa terus menerus meminta maaf sambil menceritakan tentang rumor langit tanpa ujung.

Pritha juga menambahi kalau langit tanpa ujung pernah dijelajahi beberapa oknum dari sekolahnya-yang berakhir menghilang, tak lagi ditemukan. Mereka yang berinisiatif menggali kebenaran, namun justru terkubur bersamanya.

"Sudah-sudah, ayo sekarang kita pasang tendanya. Kalian terlalu banyak berbicara, mulut kalian juga perlu istirahat." Bamasya menyela percakapan dan menarik Akasa dan Sakha untuk membantunya.

Kelima orang tersebut terbagi menjadi dua kelompok. Bamasya, Akasa dan Sakha menyiapkan tenda yang sebenarnya instan namun mereka harus membuat lima tenda agar masing-masing punya tempat privasi. Meski tendanya dibuat dengan mudah, sangat sulit untuk membuatnya berdiri kokoh di tanah. Tetap saja ketiga laki-laki itu harus mengerahkan tenaga untuk memasang pasak. Sedangkan Pritha dan Hanung bersama-sama menyiapkan makan malam. Hanung meracik bahan-bahan sedangkan Pritha merakit pemanggang portable yang diaktifkan dengan sihir. Bahan-bahan makanan yang mereka bawa masih segar dan utuh karena Bamasya memiliki alat yang terhubung dengan isi kulkasnya yang begitu lengkap.

"Wah, barbeque?" Sakha pun berjongkok di sebelah Hanung yang asik menusuk daging dan sayuran yang sudah dipotong-potong. Pritha menyalakan pemanggang lalu mengambil wadah berisikan saus bumbu dari dalam kulkas yang terhubung dengan sebuah bingkai kotak kecil yang tengahnya bolong.

"Kalian menyebutnya begitu? Memang sih, metode yang dipakai sama, tapi disini lebih sering disebut grilly." Akasa turut berjongkok di sebelah Sakha, lalu kemudian dia berdiri dan mendekati Pritha yang kesulitan menyalakan pemanggang.

"Sepertinya energinya kurang, maaf sudah lama sekali kita tidak bepergian ataupun grilly jadi aku jarang mengisi dayanya." Akasa berujar pelan dengan wajah yang memasang ekspresi tidak enak.

"Lalu bagaimana kita makan?"

"Emm, Ayah, bolehkah?" Akasa meminta izin, Bamasya yang sibuk merapikan kayu bakar yang ia susun di tengah-tengah tenda pun langsung menatap putranya. Sakha tak bisa mengartikan tatapan tersebut, cukup dalam namun membingungkan. Lagi-lagi Sakha dibuat penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi antara ayah dan anak ini. Sedangkan Hanung memilih untuk tak peduli dan sibuk membalur sate daging dan sayur dengan saus bumbu.

"Boleh apa?" Pritha menaikkan sebelah alisnya yang kemudian naik keduanya sesaat setelah Akasa menjentikkan jarinya dan pemanggang menyala. Sakha dan Hanung turut terbelalak melihat bagaimana pemanggang yang katanya kehabisan energi bisa segera menyala. Sekelebat aura kebiru-biruan yang lewat secepat kilat membuat Sakha mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia juga menaik-turunkan kacamatanya, mengusap mata dan membersihkan lensa kacamata dengan tisu dari dalam tas selempangnya.

"Akasa, kamu-" Pritha memprotes, setengah berbisik.

"Oke, aku berhutang penjelasan. Tapi, nanti ya, nanti kita bicarakan tentang hal ini." Akasa balas dengan berbisik pelan dan tersenyum simpul-namun wajahnya tak berseri seperti senantiasa. Ia pun menghampiri Hanung dan merampas wadah berisikan sate-sate yang sudah dibaluri bumbu dan mulai memanggangnya-meninggalkan Pritha yang masih membeku di tempat dan Bamasya yang menepuk jidatnya.

"Akasa, lain kali jangan sembarang lakukan hal itu."

"Aku tahu. Dan aku melakukannya agar kita tidak kelaparan. Kasihan juga bahan-bahannya sudah disediakan. Kita juga tidak bisa memakai api dari kayu bakar, karena kualitas dagingnya bisa menurun dan-"

"-merusak cita rasanya." Bamasya dan Akasa mengucapkannya bersamaan.

Sakha menjadi semakin penasaran dengan misteri dibalik kedok mantan jenderal perang yang kini jadi tukang masak sebuah restoran dan anaknya yang merupakan anggota pasukan pengawal khusus putri yang sedang berlibur.

***

"Akhirnya, kita sekarang sampai di Layang."

Bamasya berseru senang. Teriakannya saat mendaratkan mobil terbangnya di daratan memecah keheningan yang sempat tercipta selama perjalanan dari pagi.

"Wah, lihatlah sungai-sungai dan jembatan besar itu!"

Wajah Akasa yang sempat murung kembali berseri-seri setelah melihat pemandangan Layang yang begitu memuaskan mata. Pepohonan rimbun, bangunan rumah yang masih dari batu bata dan gubuk-gubuk kecil yang terbuat dari bahan alam. Daerahnya yang bersebelahan dengan Gehyangan membuatnya juga terkena efeknya. Layang adalah salah satu daerah paling asri dan rindang, juga masih bernuansa kuno dan tradisional ketimbang daerah-daerah lainnya yang sudah modern dan urban. Oleh karena itu, tak jarang juga terjadi kerjasama antar Layang dan Gehyangan.

Pritha terus diam meski matanya melirik spion tengah dan sedikit tersenyum melihat bagaimana Akasa tersenyum lebar. Sakha masih mengingat bagaimana mereka berlima menghabiskan makan malam dengan kecanggungan. Pritha lebih banyak diam, Akasa juga hanya berbicara sekenanya. Berbeda dengan Hanung yang memang memilih untuk menikmati makanan tanpa banyak bicara. Bamasya terus menerus mencari topik. Sakha menjadi korban yang harus terus membalas topik yang dilontarkan Bamasya. Sesekali Akasa akan bergabung, namun kemudian ia akan kembali murung setelah melihat ke arah Pritha. Gadis itu juga langsung mengurung diri di dalam tendanya setelah menyelasaikan dan membersihkan makan malam. Terlebih saat Akasa berusaha mendekatinya dengan dalih ingin membantunya membersihkan piring dan wadah-wadah yang kotor. Pritha langsung menyelonong ke arah tendanya dengan wajah ditekuk.

"Ini pertama kalinya aku kesini, tidak buruk." Pritha bersuara, Akasa langsung meliriknya dengan senyum yang mulai memudar. Kini kelimanya sudah keluar dari mobil setelah melewati jembatan Layang dan memarkirkannya di sebuah tempat khusus.

"Kenapa kita harus turun dari mobil, sih?" Hanung menggumam pelan

"Justru itu bagian menyenangkannya, rugi pergi ke Layang jika tidak berkeliling dengan jalan kaki. Ayo, kita akan ke rumah dinas." Bamasya langsung merangkul Akasa dan Sakha lalu menarik keduanya agar berjalan mengikutinya. Pritha dan Hanung mengekor di belakang.

Setelah lama melewati berbagai rumah-rumah warga yang berbentuk layaknya gubuk yang terbuat dari pohon dan rumah yang ada di pohon, kelimanya tiba di sebuah persimpangan yang di tengahnya merupakan lapangan luas yang disediakan untuk acara-acara tertentu. Disana banyak sekali bergerumul warga-warga, pantas saja pekarangan rumah yang tadinya mereka lewati nampak sepi.

"Van, kami memesan bibit cabai!"

"Kami dulu, kami sudah disini sejak pagi, mana pupuk terbaik yang kau miliki!"

Pritha menaikkan sebelah alisnya setelah menyadari siapa sosok yang sedang dikerumuni.

"Vanesh?"

"Ah, Pritha preketek? BAGAIMANA BISA KAU-OH, ADA PAMAN BAMASYA JUGA, HALOOO!-oh, Hai Akasa."

Sosok dengan kulit putih pucat kemerahan itu melambai-lambaikan tangannya setelah membelah kerumunan dan menemukan Pritha dan Bamasya. Ia memiliki sepasang manik hazel dan rambut berwarna jingga yang sepanjang leher dan dibelah tengah di bagian depan. Teriakan sosok yang disebut Vanesh itu membuat warga membagi fokusnya dan sebagian membelalak tak percaya akan kehadiran Bamasya.

"Ah, ada Bamasya?!"

"Sudah lama sekali kau tidak kemari, Bams!"

***

Sakha dan Batu AngkasaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora