BAB 10 - Raja Kaliangan

55 17 0
                                    

Keheningan terus menghantui seisi ruang makan. Baik itu Bamasya, Pritha, dan Akasa tak ada yang bersuara. Bahkan dentingan piring dan sendok pun tak terdengar. Ketiganya sibuk menatap satu sama lain dalam diam.

"Jadi bagaimana nasibnya Sakha? Bagaimanapun dia sudah menyelamatkan kita dari perantara dan mengembalikan Pritha." Akasa membuka suara. Masih dengan wajah seriusnya. Tanpa senyuman juga tanpa wajah masam. Membuat cahaya pada wajahnya nampak biasa-biasa saja. Tidak secerah pada biasanya maupun seredup saat ia merengut.

"Tapi dia membuat sayapku tak bisa digunakan untuk kedepannya. Itu sebuah mimpi buruk." Pritha mendelik dan melemparkan senyuman sinisnya ke arah Akasa. Gadis itu berdecih pelan saat tatapan keduanya bertemu, Akasa menatapnya lurus tanpa membuang muka. Seperti tiada niatan memutuskan tautan mata yang terjalin. Namun tatapan kosong Akasa membuat Pritha merasa terganggu. Seketika ia merindukan tatapan Akasa yang biasanya.

Sepenting apasih Sakha hingga Akasa jadi seperti ini? Pritha jadi menangguhkan kalau Akasa adalah penyuka sesama. Melihat bagaimana selama ini pemuda itu selalu menghindar dan susah berurusan dengan perempuan—termasuk Ningsih sekalipun yang merupakan salah satu perempuan terdekat dengan Akasa selain Pritha sendiri.

"Tapi Pritha, kau mendapatkannya karena Ningsih pasti ingin membalas dendam tentang saat kau menarik sayap palsunya."

Pritha baru saja hendak membalas ucapan Akasa, lalu ia terdiam. Merasakan ada yang aneh, Akasa langsung menutup mulutnya. Pritha justru meyakini apa yang ia dengar barusan.

"Sayap palsu? Yang berkedip-kedip itu sayap palsu? Bagaimana bisa aku tidak menyadari kalau itu hanyalah kemajuan teknologi." Pritha tertawa keras mendengarnya, ia nampak puas karena mengetahui kekurangan Ningsih.

"Masa keturunan kerajaan memiliki sayap palsu, haha. Akasa, apa saja yang sebenarnya kau dan ayahmu sembunyikan? Belum lagi darah biru muda—tidak, darah suci. Darah suci yang hanya dimiliki oleh keturunan asli anggota kerajaan Kaliangan dan Surga."

Mendengar pertanyaan Pritha, Akasa dan Bamasya mendadak terdiam seribu bahasa. Tubuh Akasa menegang, ia pun menoleh ke arah ayahnya—meminta pertolongan melalui kode mata. Bamasya menggeleng begitu mendapatkan tatapan dari Akasa.

"Pritha, bisakah kamu memberikan kami waktu? Ini terlalu sulit untuk diperbincangkan sekarang—"

Bunyi barang yang terdengar jatuh tergeletak membuat Bamasya mendelik ke arah pintu dapur Pritha yang terhubung ke ruang makan milik keluarga Bima. Akasa lekas berdiri dan mendekatkan diri ke arah pintu dan membukanya perlahan.

"Ah, maaf Kak Akasa tadi aku tak sengaja menjatuhkan sapu. Maaf mengganggu kalian."

"Anneke, lain kali hati-hati. Siapa tahu sapunya terkena barang-barang Pritha, dia akan mengamuk."

Itu Anneke, pekerja sambilan yang sering membantu Pritha di kliniknya. Gadis berusia lebih muda beberapa tahun dari Pritha yang masih bersekolah di akademi medis yang ada di Kota Tengah, Kaliangan. Anneke bisa dibilang juga pekerja magang karena ia melakukan sambilan demi memenuhi nilai tugasnya—itu yang dulu ia katakan pada Pritha saat melamar ke klinik beberapa minggu yang lalu.

"Terima kasih atas peringatannya, Kak Akasa."

Anneke mengangguk lalu meraih sapu di lantai. Ia kemudian berlari kecil menjauhi Akasa yang masih di ambang pintu. Yang kemudian menutup pintu dengan pelan.

"Itu hanya Anneke, dia sedang ada jam kerja?" Pritha menggeleng kemudian mengangguk.

"Katanya mau membuat kue obat, tapi untuk apa pakai menyapu segala? Ada gadget pembersih cepat malah repot-repot." Penjelasan Pritha disahut Akasa dengan manggut-manggut sambil berdeham pelan.

"Sampai mana tadi? Oh, jadi kita mau menyelamatkan Sakha dengan cara apa?" Akasa bertanya sambil mengambil kursi bersebelahan dengan Pritha, bukannya kembali ke kursi di seberang tempat ia duduk sebelumnya.

Pritha menghela napas, sepertinya Akasa dan Bamasya benar-benar tidak mau membahas apapun tentang rahasia yang mereka sembunyikan. Entah sampai kapan Pritha harus hidup bersama keduanya dan misteri.

***

Sakha mengerjapkan sepasang matanya yang berwarna biru toska. Ia menemukan dirinya masih berada di tempat sebelumnya. Dengan kedua tangan terikat di belakang kursi, kemeja putihnya dibasahi peluh. Bagaimana tidak, cahaya dari ventilasi langsung menuju ke arah dirinya—membangunkannya dari lelap. Membuat kulit gelapnya bersinar terang begitu terkena biasnya. Bayangkan saja, kulit gelap berwarna cokelat madunya yang berkeringat mendapatkan sorotan cahaya—entah sudah kenikmatan duniawi apalah ini. Atau, bisa dibilang surgawi—karena Sakha sedang tidak berada di Bumi.

"Sampai kapan kalian akan mengurungku disini?" Sakha langsung bersuara begitu melihat pintu terbuka, menampakkan Ningsih yang berjalan perlahan dengan beberapa penjaga mengiringinya.

Ekspresi wajah Ningsih nampak serius dan tenang, lalu kemudian ia berjalan sendiri ke arah belakang Sakha dan menunjukkan sosok di belakangnya yang begitu bercahaya. Pantas Sakha merasa ada yang aneh dengan sesuatu di belakang Ningsih yang begitu menyilaukan. Lebih menyakitkan mata ketimbang cahaya dari senyuman Akasa.

"Sakha Rindualam. Kau sangatlah mirip dengannya, tidak salah lagi. Ningsih, dimana kau menemukannya?"

Suara berat yang juga terdengar tegas dan lemah lembut bersamaan membuat Sakha mendongak. Suaranya terdengar tua, jadi mengingatkan Sakha akan Hilman—kakek tua di desa Saijaan yang suaranya justru berbeda seratus delapan puluh derajat dengan sosok berambut putih panjang di hadapannya. Sakha seperti melihat Pritha versi kakek-kakek, tapi bedanya kakek ini tubuhnya bersinar layaknya wajah Akasa. Dari atas hingga ke bawah, mengenakan pakaian putih dengan ornamen-ornamen berwarna emas. Rambut putihnya yang panjang hingga ke kaki ditata rapi, sebagian dikepang dengan indah. Ubun-ubunnya dihinggapi sebuah mahkota yang disusun dari bulu-bulu dan batu putih bercahaya.

Sakha harus mengakui kalau sosok di hadapannya ini beratus-ratus kali lebih menyilaukan daripada seratus senyuman Akasa, Sakha saja merasa hampir tidak melihat warna apapun selain putih cerah.

Jentikkan jari di hadapan matanya membuat Sakha mengerjap, itu Ningsih yang menyadarkannya dari bayangan-bayangan putih yang menyelimuti penglihatannya barusan.

"Jangan melihat Yang Mulia dengan tidak sopan begitu kalau masih ingin hidup!" Gadis itu memperingati.

"Mohon jawab, Abah. Aluh menemukannya saat sedang ekspedisi dengan Akasa ke dekat perbatasan, dia dari portal layang tempat dulu paman Rindualam sering mengajak Aluh." Jawaban Ningsih mendapat anggukkan dari sosok bercahaya yang ia panggil Abah—yaitu Raja Kaliangan. Ningsih sendiri memanggil dirinya Aluh—atau sebutan sopan untuk anak perempuan.

"Utuh Akasa dimana sekarang?"

"Menjawab, Abah. Akasa ada di rumahnya, mau Aluh panggilkan?" Mendapati anggukan dari sang ayah, Ningsih langsung mengambil sebuah benda pipih dari dalam jubahnya dan menghubungkannya ke milik Akasa.

"Sekalian bawa Bamasya, sudah lama Abah tidak melihatnya."

"Baik Abah. Akasa, Yang Mulia memanggilmu dan paman Bamasya. Lekaslah kesini." Tanpa mendengarkan balasan Akasa, Ningsih langsung menutup panggilannya. Lagipula, jika sudah membawa ayahnya—mana mungkin Bamasya dan Akasa berani melarikan diri.

***Bersambung

Sakha dan Batu AngkasaWhere stories live. Discover now