BAB 22 - Mantra

76 7 0
                                    

"Sakhakala, kalau dewasa mau jadi apa?"

Beberapa anak kecil dengan tubuh mungil dan gempal mengerubungi seorang anak laki-laki berambut hitam kecokelatan yang maniknya berwarna biru kehijauan.

"Mau seperti ayah!" Sakha kecil menjawab dengan berseru keras. Ia juga mengangkat kedua tangannya ke atas. Bibirnya terbuka lebar, giginya yang masih jarang bersinar cemerlang. Senyum sumringah dan binar-binar menyenangkan di matanya yang jernih membuat anak kecil disekitarnya turut tersenyum. Kecuali satu anak yang berdiri di paling belakang, nampak tak tertarik untuk ikut berinteraksi namun telinganya mmenyimak segala yang dapat ia dengar. Pandangannya sinis, sesekali melirik ke arah Sakha yang menatapnya balik lalu tersenyum lebar hingga kedua matanya menghilang. Anak dengan rambut cokelat muda—beberapa tingkat lebih terang dari milik Sakha, seperti warna caramel yang sedikit gosong.

"Seperti Paman Manca, hah? Bukannya kau sudah mirip dengannya!" Anak berambut sebahu itu bersuara dengan nada kasar.

Sakha mengangguk lalu tersenyum, "Meskipun penampilanku dan ayah sudah mirip, tapi aku ingin memiliki kemiripan lainnya seperti kemampuannya memimpin desa, memancing ikan besar, menangkap hewan, dan memiliki istri cantik seperti ibuku yang ada di foto ini!" Kemudian ia mengambil secarik kertas dari dalam kantong saku kaos polosnya yang menampilkan gambar seorang wanita yang tersenyum manis dengan manik biru yang indah. Wanita itu memiliki rambut brunet sepundak, posenya memeluk sekumpulan bunga matahari yang diikat rapi.

"Kata ayah, ia sendiri yang menggambar ibuku yang sedang menyusun bunga matahari." Sakha kembali memamerkan deretan giginya yang gigi kelincinya sisa satu.

"Wah, cantik sekali!" Komentar anak kecil yang bertubuh gempal di samping Sakha.

"Gambaran Paman Manca bagus sekali." Beberapa anak yang mengerubungi Sakha terus menerus melontarkan pujian yang membuat senyuman Sakha tak kunjung pudar.

"Hanabanyu, kamu tidak mau lihat?" Sakha menengok ke arah gadis berambut caramel tadi.

Gadis yang bernama Hanabanyu itu menggeleng lalu berdiri dari rerumputan yang sedari tadi didudukinya.

"Hei, mau kemana?" Sakha bertanya setelah melihat Hanabanyu beranjak.

"Sungai." Gadis itu membalikkan setengah badannya dan menatap Sakha, setelahnya ia kembali melanjutkan langkahnya.

"Tunggu, Hana!" Setelah menyimpan kembali gambar ibunya di saku kaos, Sakha berdiri dan berlari mengejar Hana bantu yang sudah mendahuluinya.

Keduanya kemudian berjalan menyusuri jalan setapak yang sepi. Hanabanyu masih beberapa langkah di depan Sakha. Anak laki-laki bermata jernih itu tak sanggup melanjutkan aksi larinya karena sudah terengah-engah. Ia menetralkan napas dan detak jantung yang berpacu begitu cepat hasil dari berlari.

"Hanabanyu, siang-siang begini kamu mau memancing?" Gadis yang diberikan pertanyaan menjawab dengan mengangguk dan membuat suara kecil tanda setuju.

"Kira-kira kita akan dapat ikan apa ya? Apa Banang akan suka ya kalau kita berikan ikan bakar daripada buah apel?" Sakha terus bergumam sepanjang perjalanan, sementara Hanabanyu hanya diam dan menikmati kebisingan alam yang berpadu bersama kebisingan mulut laki-laki di belakangnya yang tak henti berbicara ataupun bersenandung.

"Banang senang, Banang menang, Banang panjang. Banang terbang, Banang suka ikan panggang!" Sakha berseru nyaring begitu keduanya menemukan sebuah gubuk kecil yang ada di pinggir sungai. Dari dalam gubuk tersebut mengeluarkan suara gaduh, seperti bunyi binatang yang sedang kesusahan. Hanabanyu langsung berlari ke arah gubuk dan langsung mendorong pintu gubuk yang terbuat dari potongan kayu kecil yang dipaku menjadi satu.

Sakha dan Batu AngkasaWhere stories live. Discover now