BAB 13 - Bertemu

52 11 0
                                    

Sakha merasa dirinya sudah tenang sesaat setelah membuka pintu, namun ternyata masih ada lorong-lorong yang menghadangnya. Ia memejamkan matanya saat sebuah sengatan mencapai ke dalam otaknya. Sakha langsung memegangi kepalanya dan berusaha berjalan lebih jauh ke dalam lorong.

Meskipun sedang tak bisa berpikir jernih, Sakha berfirasat untuk terus berjalan maju. Karenanya ia terus menyusuri lorong hingga bertemu ujung dan membelokkan tubuhnya ke kanan. Setelah beberapa langkah, ia bertemu sebuah pintu dengan ukiran yang tidaklah asing dalam ingatan.

Jajar genjang dan sayap, lagi?

Samar-samar Sakha mulai mengingat sedikit akan ukiran pada pintu tersebut yang pernah ia lihat. Ukiran yang sama persis dengan ukiran di pintu yang ia lihat saat Hilman dan Hanung mengantarnya hingga Sakha berakhir di Kaliangan.

Sakha mengarahkan tangannya untuk menggapai kenop dengan perlahan. Separuh hatinya mengharapkan bahwa pintu ini bekerja sama persis seperti pintu di dekat jurang kala itu. Namun sejenak Sakha ragu, tangannya bahkan belum menyentuh kenop dan ia sudah menariknya.

Sakha terpikir akan bagaimana dengan nasib Akasa dan yang lainnya—juga, apa kabar dengan ayahnya yang belum jua ia jumpai?

"Kau tidak ingin kembali? Kau tidak seharusnya disini." Sebuah suara membuat Sakha tersentak, ia langsung membalikkan badannya.

Kedua bola mata biru toskanya terbelalak begitu menjumpai sosok yang tadi berbicara kepadanya. Bamasya dengan wajah yang tak memasang ekspresi membuat Sakha melemaskan otot wajahnya yang sempat menegang. Meskipun bersyukur bahwa itu bukan Balan, tapi Sakha juga sedih melihat Bamasya yang seperti hendak menyuruhnya untuk pulang.

"Aku belum bertemu—"

"Kau dan ayahmu sama saja, keras kepala!" Bamasya berseru setengah berteriak. Kedua bola matanya yang berwarna biru gelap menyororkan tatapan kosong. Dada bidangnya bergerak naik turun seiring napasnya yang tak teratur.

"Kau tidak akan pernah berhenti mencarinya dan dia tidak akan pernah berhenti untuk menyalahkan dirinya sendiri."

Sakha menunduk. Air mukanya semakin kacau. Dadanya sesak. Ia memejamkan kedua matanya yang terasa berat. Begitu membukanya, bulir-bulir sudah siap untuk berjatuhan. Terkumpul sudah dalam kelopaknya. Sakha pun mendongak. Ia tak ingin membiarkan buliran itu mengalir.

"Apakah ... ayahku sudah mati? Atau, kami takkan pernah bertemu lagi, seberapa keras pun aku berusaha?" Bamasya menggeleng.

"Bukannya begitu, tapi presentase mu untuk bertemu ayahmu sangatlah nihil. Bahkan aku, selama dua tahun ini tidak dapat menemukannya, dan fakta bahwa Danen—maksudku Balan masih berkeliaran membuatku ragu akan keberadaannya, Sakha."

Bamasya berusaha menjelaskan, Sakha kembali menunduk. Perlahan beberapa bulir mulai mengalir ke bumi, namun ia langsung menyapunya dengan telapak tangan.

"Aku takkan bisa bertemu dengan ayahku?"

Bamasya mengangguk lalu menggeleng.

"Tidak, maksudku, mungkin jika ia masih hidup pasti ia akan segera mengunjungimu. Aku berjanji Sakha, aku akan membuatnya mengunjungimu di bumi. Aku akan terus mencarinya, tapi kau tidak bisa berada disini. Banyak kekacauan yang pastinya akan terjadi, aku tidak paham kenapa Balan mencarimu setelah sekian lama tidak mau pergi ke Kaliangan."

"Lalu bagaimana dengan ramalan itu? Yang kemarin kau sebutkan tentang diriku dan ayahku."

Pertanyaan Sakha membuat Bamasya langsung menatapnya lurus dan pintu portal secara bergantian. Sepertinya ia sendiri juga bimbang akan keputusannya ini.

"Aku sempat tidak mempercayaimu sebagai keturunan Rindualam. Maafkan aku, tapi hatiku goyah. Aku takut keliru dalam mengambil keputusan karena berkah ku bukanlah kebijaksanaan. Banyak sekali keputusan buruk yang sudah ku ambil. Meskipun kau memang seseorang yang diramalkan akan menyelamatkan ayahmu, aku bukanlah orang yang tepat untuk membimbingmu."

Sakha dan Batu AngkasaWhere stories live. Discover now