01 : Konsul Jodoh?

13.3K 1.2K 52
                                    

"Nomor urut 49, Tuan Farhan silakan memasuki ruangan." ujar seorang perempuan berseragam lengkap layaknya perawat pada umumnya.

Mendengar nama itu, perempuan dengan potongan rambut sebahu mendorong pelan kursi roda yang ditempati oleh seorang pria berumur. Usia pria itu diperkirakan sudah memasuki angka enam puluh.

Perempuan dengan potongan rambut sebahu itu adalah aku, Wanda Naura Farhanza. Sedangkan pria di kursi roda itu adalah ayahku. Bulan Desember lalu, aku resmi menginjak angka 23 tahun. Saat ini aku sedang magang di salah satu law firm ternama di kotaku.

"Halo, calon menantu kesayangan."

Pria dengan badan tinggi semampai berbalut jas berwarna putih itu tampak menahan senyum kala mendengar suara ayahku.

"Calon menantu?" tanyaku memastikan bahwa telingaku tidak salah mendengar sapaan ayahku.

Ayahku menganggukkan kepalanya dengan mantap, sedangkan aku dibuat kebingungan dengan situasi saat ini.

"Dia?"

Ayahku sekali lagi menganggukkan kepalanya, "Iya, bawel."

"Ayah kepalanya enggak apa-apa kan? Kita mau konsul dokter, kenapa malah jadi konsul jodoh?"

Tanpa memikirkan rasa sakit yang harus aku tanggung, ayahku tanpa rasa bersalah mencubit lenganku.

"Ayah serius, Wanda."

"Ayah jangan serius-serius banget, aku belum siap kalau diajak serius."

Sepertinya ayahku sudah malas meladeni ucapan konyolku, ia menatap pria yang sudah selama enam bulan menjadi dokter yang menangani penyakitnya, "Maaf ya Dok Bian, anak saya kebanyakan makan micin, jadi agak tulalit."

Pria itu menganggukkan kepalanya seakan menyetujui ucapan Ayahku. "Wanda, papa kamu ada keluhan atau ada kondisi tertentu yang perlu diberitahukan kepada saya?" tanya dokter spesialis saraf yang aku ketahui bernama Abian Pratama.

Enam bulan yang lalu, ayahku didiagnosis penyakit stroke yang mengharuskan ayahku untuk sementara duduk di kursi roda. Entah bagaimana, selama enam bulan terakhir Ayahku menjadi sangat dekat dengan Abian.

"Papa ngeluh minta cucu mulu, dok."

"Saya serius, Wanda."

"Dokter serius mulu kayak Ayah."

"Maaf ya dok, tapi memang benar sih saya sering ngeluh minta cucu." potong Ayahku.

Abian tertawa mendengar penuturan ayahku, "Obat aman kan?"

Mataku tertahan selama tiga detik. Senyum itu benar-benar mengalihkan duniaku dalam sesaat. Aku menampar pelan pipi kananku agar segera sadar.
"Dokter, jangan senyum gitu. Nanti saya baper."

"Memang tugas saya buat kamu baper."

Aku memang terkadang senang bercanda dengan Abian. Sejujurnya aku tidak terlalu suka dengan suasana serius. Sesekali menggoda dokter muda dan tampan kan tidak masalah.

"Tugas dokter buat ayah saya sembuh biar bisa lomba lari sama saya."

"Tuh kan dok, anak saya kayaknya butuh dicek kejiwaannya. Saya takut bermasalah." ujar Ayahku sembari menatapku dengan sorotan mata prihatin.

Abian lagi-lagi tertawa mendengar ucapan ayahku. Padahal, setahuku Abian bukanlah dokter yang murah senyum.

"Baik, jangan lupa untuk terus mengonsumsi obat hipertensi dan kolesterol ya Pak untuk mencegah serangan stroke kedua."

"Iya dok, masalah obat beres. Tapi nanti malam jadi main ke rumah kan dok?" tanya ayahku kepada Abian.

"Ngapain ke rumah? Home care ya?"

My Impressive PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang