05 : Tempat Baru

6.6K 862 38
                                    

Kepalaku tertunduk lemas ketika mendapatkan surat tugas dari kantor untuk sementara menjadi legal officer di rumah sakit selama enam bulan. Sebenarnya aku sangat menghindari bekerja di rumah sakit. Menangani kasus hukum di rumah sakit itu tidaklah semudah yang orang-orang bayangkan, sangat rumit dan melelahkan. Terutama pengalaman yang didapat juga sering kali berkaitan dengan administrasi sehingga tidak terlalu membantuku sebagai seorang pengacara untuk beracara di pengadilan. Seketika aku teringat dosaku saat kuliah yang sering bolos di mata kuliah Hukum Kesehatan.

Hal menyebalkan lainnya, rumah sakit tersebut adalah tempat Abian bekerja. Hari ini kebetulan merupakan hari pertamaku bekerja di rumah sakit tersebut. Harapanku semoga saja aku tidak banyak bertemu Abian.

"Mbak Wanda ya?"

Aku tersenyum menyambut jabatan tangan pria yang sepertinya akan menjadi rekan kerjaku selama enam bulan, "Iya, bener. Mas Dirga ya?"

Pria bernama Dirga itu menganggukkan kepalanya, "Semisal ada pertanyaan, kamu bisa tanya ke saya. Pegawai rumah sakit terkadang memang tidak terlalu responsif karena mungkin beban kerja yang banyak. Jadi kalau semisal ada yang jutek, harap maklum ya Wan."


"Wah, sudah warning di awal. Kayaknya sejutek itu ya Mas?"

"Juteknya minta ampun, makanya sedikit yang mau bantu di sini."

Sepertinya Dirga bukanlah rekan kerja yang tidak menyenangkan. Aku cukup lega karena setidaknya rekan kerjaku tidak buruk.

"Oh iya Wan, ini ada beberapa berkas yang perlu ditandatangani dokter. Tolong ya, Wan. Saya soalnya mau ke luar sebentar." ujar Dirga.

Aku menganggukkan kepalaku dengan antusias, setidaknya aku tidak dibiarkan menganggur.

"Oke Mas, siap."

"Nama dokternya sudah tercantum di setiap map ya."

"Thank you, Mas."

"Oh ya Wanda, kamu boleh baca dan pahami dulu surat perjanjiannya. Karena dokter di sini, terutama dokter Abian sangat teliti dan sensitif."

"Dokter Abian?"

"Iya, seenggak ramahnya pegawai rumah sakit di sini masih kalah dengan juteknya dokter Abian." jelas Dirga.

Aku mengernyitkan dahiku, "Bukannya dokter Abian itu paling ramah ke pasien ya?"

"Saya pikir senyum dan ramah dokter Abian itu sangat profesional. Selepas jam praktik, dia berubah menjadi sangat muram. Meskipun begitu, dia tetap saja idola pekerja wanita di sini."

"Percuma ya Mas, wajah dan kelakuan enggak sinkron."

Dirga mengangguk-anggukan kepalanya sembari tertawa, "Mending muka pas-pasan kayak saya, tapi ramah. Ya kan?"

Aku hanya tertawa, tidak menyetujui pun tidak menolak ucapan Dirga.

"Selera sih, Mas."

"Dasar. Ya sudah saya pergi dulu ya."

"Okay, Mas."

My Impressive PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang