14 : It Hurts

5.1K 672 22
                                    

"Dia ngapain di sini?" tanyaku seketika melihat ada orang lain yang dengan bangganya berdiri di samping Abian.

"Dia ikut kita." jawab Abian seakan tidak ingin dibantah.

Aku tersenyum kecut, "Bukannya yang ditugaskan hanya tiga orang?"

"Dina tidak memakai uang operasional rumah sakit. Saya yang bayar."

"Oh, kamu merasa hebat karena kamu yang bayar? Padahal kita ditugaskan untuk bekerja, ternyata dokter Abian enggak begitu profesional ya. Enggak bisa membedakan urusan pribadi dan pekerjaan." sindirku.

Dina mengaitkan tangannya ke lengan Abian, "Kamu ada masalah apa? Lagi pula saya tidak mengganggu kamu."

"Melihat wajah kamu sudah sangat mengganggu mata saya."

"Cukup Wanda. Saya tidak mau ada perdebatan tidak penting. Mengerti?"

"Oh, sepertinya sekarang saya paham kenapa kamu tiba-tiba ikut pergi. Kamu pasti izin ke orang tua kamu kalau kamu pergi sama saya kan? Dasar licik, enggak punya perasaan."

Dion membuka suaranya setelah cukup lama terdiam, "Wanda, jangan buat gaduh. Kamu jadi bahan tontonan orang."

Aku memilih menuruti ucapan Dion dan tidak menggubris kehadiran sepasang sejoli menyebalkan itu.

"Wanda, kalau kamu lapar bilang ke saya ya." ujar Dion tiba-tiba.

"Kenapa dokter tiba-tiba bilang gitu?"

"Makan itu salah satu sumber kebahagiaan. Saya enggak mau teman sebangku pesawat saya selama perjalanan murung."

"Dokter salah makan obat?" tanyaku memastikan.

"Saya hanya enggak suka kamu murung."

"Makasih ya dok sudah peduli dengan saya."

❣️❣️❣️

"Dok, besok ada presentasi ya?"

Dion menganggukkan kepalanya, "Iya, saya juga baru tahu dari panitia."

"Dok, tapi otak saya minim banget kalau mau hapal istilah-istilah aneh. Entar saya yang bagian operator slide aja ya."

Dion tertawa mendengar penuturanku, "Iya, kamu tim hore aja."

Aku menjabat tangan kanan Dion, "Dengan senang hati."

"Oh iya, kamu tolong panggil Abian di kamarnya. Saya sudah coba hubungi, tapi enggak diangkat."

"Biasalah dok, lagi kasmaran susah diganggu."

"Tolong ya, soalnya saya enggak mungkin kerjain sendirian."

Dengan terpaksa aku menyetujui permintaan Dion. Sejujurnya aku sangat malas bertemu Abian. Paling-paling mereka sedang bermesraan berdua di kamar. Memikirkannya saja sudah membuat kepalaku sakit.

Selama perjalanan menuju ruang kamar hotel Abian, aku melihat Dina sedang bermesraan dengan seorang pria. Pria itu merangkul mesra Dina. Saat aku menuju ke arah mereka, Dina dan pria itu berjalan ke luar hotel.

Aku tertawa miris di dalam hati. Abian ternyata sebodoh itu. Dina hanya ingin bertemu kekasihnya di sini. Aku mengetuk beberapa kali pintu kamar hotel Abian. Sudah lima menit aku menunggu dan tidak ada jawaban.

"Abian! Buka pintunya cepetan, jangan banyak tingkah. Saya capek di luar nunggu. Kalau kamu enggak buka, saya beneran pergi." teriakku dengan harapan Abian bisa mendengar. Sebenarnya aku sempat menjadi pusat perhatian karena suara besarku itu.

My Impressive PartnerWhere stories live. Discover now