10 : Unrequited Love

4.8K 670 9
                                    

Kondisi ayahku berangsur-angsur membaik setelah beberapa minggu dibantu oleh Abian. Meskipun nampak membaik, tetapi ayahku tetap masih perlu perhatian secara intens agar tidak kembali drop. Penyakit komplikasi ketika usia mulai menua memang perlu perhatian lebih. Seperti kata pepatah, mencegah lebih baik daripada mengobati.

Apabila aku mengatakan kondisi hubunganku dan Abian saat ini, aku takut ayahku kepikiran.

Aku tak menampik fakta bahwa hingga saat ini aku masih membutuhkan bantuan Abian untuk menolong ayahku.

"Wanda, nanti tolong bantu urus surat perpindahan kerja dokter Dina ya."

"Dokter Dina?"

Mas Dirga menganggukkan kepalanya, "Iya, sepertinya masa studi dokter Dina lebih cepat setengah tahun dari perkiraan. Memang pinter banget ya dokter Dina, Wan."

Aku tersenyum mendengar pujian Mas Dirga kepada dokter Dina.

"Okay Mas."

Sebetulnya mendengar nama Dina di pagi hari membuat suasana hatiku berubah menjadi tambah suram. Aku menyesali ucapanku kemarin yang dengan bodohnya mengucapkan kalimat-kalimat tidak berguna tersebut dengan lantang.

Tak butuh cinta? Hell, no
Hatiku bukan baja. Aku butuh pangeran berkuda putihku untuk datang menemaniku.

Impianku pun sebenarnya cukup sederhana, tidak muluk-muluk. Aku hanya ingin hidup dengan damai bersama orang-orang yang aku cintai. Seharusnya dari awal aku sudah sadar dengan tawaran Abian yang tidak masuk akal. Pria seperti dia tidak mungkin memilih sembarang wanita untuk dijadikan istri. Bahkan tak perlu repot-repot mencari dan membuat kesepakatan, para wanita akan berbaris manis secara cuma-cuma untuk menjadi istri seorang Abian.

Hanya sampai kondisi ayahku pulih. Aku harus tetap bertahan dengan Abian. Ketika uang yang aku kumpulkan cukup untuk membiayai hidupku dan ayahku, maka aku akan melepas Abian.

Abian memanfaatkan aku, jadi tidak ada salahnya kalau aku pun memanfaatkan Abian. Meskipun perbedaannya terletak pada aku pakai hati, sedangkan Abian tidak.

"Wanda, nanti jangan lupa minta tanda tangan dokter Abian ya. Ada dua dokumen yang perlu tanda tangan dia." titah Mas Dirga.

Aku menganggukkan kepalaku pasrah. Lagi pula aku tidak bersalah, kenapa aku harus menghindar?

Aku beberapa kali mengetuk pintu ruangan Abian, tetapi tidak kunjung mendapat balasan. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke ruangan Abian karena ternyata pintunya tidak terkunci.

'Oh, enggak ada Abian.' batinku berucap.

Mataku menjelajahi setiap jengkal ruang kerja Abian. Seleranya bagus. Warna putih dan hitam mendominasi. Ruangannya juga rapi untuk standar seorang pria.

"Kamu ngapain berdiri kayak orang bodoh?"

Aku sudah bisa menebak bahwa asal suara tersebut adalah Abian. Hanya mendengar vokalnya saja aku sudah bisa menerka pemilik suara tersebut.

"Santai aja. Saya hanya mau minta tanda tangan kamu, bukan hati kamu." ujarku sembari menunjuk dua map berwarna merah yang aku taruh di atas meja kerja Abian.

"Wanda, saya mau membatalkan rencana pernikahan kita."

Ternyata kalimat itu terlontar cukup cepat dari perkiraan ku. Aku tidak terkejut dengan ucapan yang keluar dari mulut Abian.

"Tidak mau." jawabku.

Abian mengernyitkan dahinya, "Kamu sudah tahu apa yang terjadi dalam hubungan saya dan Dina. Lantas untuk apa lagi kita mempertahankan hubungan pura-pura ini?"

My Impressive PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang