17 : New Chapter

5.3K 699 58
                                    

Samar-samar aku mendengar derap langkah seseorang, suara langkah kakinya terkesan sangat tergesa-gesa. Aku segera berdiri untuk memastikan bahwa pendengaranku keliru. Aku sangat ingat bahwa pintu dan jendela sudah kukunci dengan benar.

Kepalaku terasa sangat berat saat aku berdiri. Aku mengambil sapu yang terletak di dalam kamar untuk berjaga-jaga kalau saja aku membutuhkan alat untuk membantuku melindungi diri. Aku membuka pintu secara perlahan karena sebenarnya aku takut bahwa ada seseorang yang berniat jahat datang ke rumahku. Namun, ketika aku membuka pintu, aku melihat pria yang tidak ingin aku temui menatapku dengan sorot mata khawatir.

"Wanda, kamu tidak apa-apa?" Sesaat setelah pria itu mengucapkan kalimat tersebut, ia menggapai tanganku dan memelukku dengan erat.

"Kamu ngapain ke sini?" tanyaku dengan suara yang terdengar sangat lemas. Wajar saja kalau aku tidak punya tenaga, bahkan aku lupa kapan terakhir aku mampu makan dan minum dengan layak.

"Maafkan saya, Wanda."

"Terlambat."

Pria yang sudah dua hari belakangan aku tunggu-tunggu kehadirannya baru muncul satu hari setelah ayahku dimakamkan. Aku tidak tahu bagaimana cara ia masuk ke dalam rumahku. Memang setelah kepergian ayahku, aku mengurung diri seharian di dalam rumah guna menjernihkan pikiran.

"Kamu sudah makan?" tanya Abian.

"Pergi dari rumah saya." usirku.

"Wanda, saya turut berdukacita atas kepergian Ayah kamu."

Aku tersenyum tipis, "Saya tidak mau melihat wajah kamu lagi."

"Saya ada bawakan beberapa makanan, tinggal kamu panaskan saja. Saya sudah taruh di kulkas."

"Jangan buat saya mengulangi ucapan saya, Abian."

"Saya tahu kamu merasa sangat kehilangan. Namun, jangan siksa diri kamu seperti ini Wanda."

"Kamu tahu? Kamu tahu apa? Kamu tidak tahu apa-apa! Bahkan saat saya sangat butuh kamu, dimana kamu? Menghilang tanpa berusaha untuk mencari kabar tentang saya? Saya muak dengan kamu, Abian! Saya benci kamu!"

Akhirnya aku bisa mengucapkan segala perasaan yang ingin aku utarakan.

Abian terdiam, ia seakan tak bisa menampik segala ucapan yang aku lontarkan.

"Wanda, saya sangat menyesal. Saya tidak tahu bahwa kamu harus melewati peristiwa ini. Saya benar-benar bodoh karena tidak ada di samping kamu saat itu."

"Untuk apa menyesal? Kamu bukan siapa-siapa saya, tidak perlu merasa bersalah. Kesalahan semua ada pada saya yang terlalu banyak berharap."

Aku memperhatikan perawakan Abian. Ia tampak sangat kacau, seperti tidak tidur berhari-hari.

"Kamu kenapa terlihat sangat berantakan?"

Aku benci kepada diriku yang masih peduli terhadap dirinya.

"Kenapa diam? Selama beberapa hari ini kamu kemana?"

"Saya menemui Dina." jawab Abian dengan sangat pelan.

"Jawaban kamu membuat saya tambah yakin untuk lebih membenci kamu, Abian."

"Dina berusaha untuk bunuh diri, Wanda."

"Menurut kamu saya peduli?"

"Kamu tidak peduli, tapi saya peduli. Kamu tahu Dina sangat berharga bagi saya."

"Jangan teruskan omongan kamu. Saya tidak mau mendengar hal itu! Kamu itu egois Abian! Kamu membuat saya berharap, kamu membuat saya merasa spesial. Padahal seharusnya saya sadar diri bahwa saya orang ketiga di dalam hubungan ini. Saya tidak seharusnya ada di dalam kehidupan kamu. Saya seharusnya membiarkan kamu bersama dengan perempuan gila bernama Dina itu. Saya tidak seharusnya ikut campur."

Abian mencoba meraih pergelangan tanganku, "Wanda, saya tahu saya tidak dalam kondisi untuk memberi penjelasan kepada kamu. Saya hanya sangat bingung dengan situasi saya, Wanda."

Aku menepis tangan Abian.

"Dina hamil."

Sungguh kepalaku benar-benar terasa sangat berat mendengar ucapan Abian. Tadinya sudah terasa sangat mencabik kepalaku, sekarang malah rasa sakitnya tidak kunjung reda dan semakin sakit.

"Kamu gila?!"

"Dina hamil anak orang lain. Dia mau bunuh diri karena pria itu tidak mau bertanggung jawab."

"Dina meminta saya untuk bertanggung jawab menggantikan pria itu."

"Kamu mau?"

Abian terdiam, tidak berusaha menjawab pertanyaan yang aku ajukan.

Aku memegang kepalaku, "Saya juga lagi gila, Abian! Saya kehilangan motivasi saya untuk hidup, saya kehilangan sosok yang membuat saya semangat untuk menjalani hidup. Apa kamu peduli dengan saya? Apa kamu pernah berpikir tentang saya? Kamu hanya memikirkan Dina! Kamu tidak punya hati!"

"Abian, saya mohon pergi dari sini. Saya sudah bicara dengan Mama dan keluarga kamu. Mama kamu bersikeras untuk menjodohkan saya dengan kamu karena ia sudah terlanjur janji dengan Ayah saya. Saya sudah memohon untuk membatalkan perjodohan dan beliau sudah setuju untuk itu. Sekarang giliran saya yang memohon dengan kamu untuk menjauh dari saya. Saya tidak ingin melihat kamu. Saya tidak ingin terlibat dengan pria yang bahkan tidak bisa berpikir rasional."

"Saya tahu saya egois, Wanda! Saya tidak bisa melepas kamu, apalagi kondisi kamu sedang sangat terpuruk seperti ini."

"Saya tidak butuh belas kasihan kamu, Abian."

"Saya tidak bisa meninggalkan kamu Wanda, begitupun dengan Dina. Saya tidak bisa."

"Kamu tidak bisa, tapi saya bisa."

"Saya sudah bilang ke Ayah kamu kalau saya akan menikahi kamu. Saya tidak mungkin ingkar janji."

"Oh, kamu mau jadikan saya istri pertama atau istri kedua? Kamu brengsek, Abian!"

Abian menunduk mendengar ucapanku. Ia pun juga nampak kacau, tidak lebih baik dariku.

"Abian, saya ingin sendiri. Jangan ganggu saya. Saya bisa mengurus diri saya sendiri. Kalau lapar, saya akan makan. Tidak perlu kamu hiraukan. Saya bukan anak kecil. Pedulikan saja Dina yang sedang mengandung itu. Anakmu atau bukan, saya tidak tertarik untuk tahu."

My Impressive PartnerWhere stories live. Discover now