11 : My First Love

5K 681 26
                                    

"Saya ingin ada perwakilan dari dokter dan tim legal untuk memenuhi undangan tersebut."

Pria paruh baya dengan kaca mata yang bertengger manis di hidung mancungnya itu mengawali rapat dengan pemberitahuan undangan untuk hadir di seminar hukum kesehatan selama tiga hari di Bali.

"Ada yang mau mengajukan diri?"

Tak seperti biasanya, semua orang nampak enggan untuk mengajukan diri. Termasuk aku yang memilih untuk diam karena sedang tidak dalam mood untuk berpergian.

Direktur rumah sakit tersebut bertanya kembali, "Saya tanya sekali lagi, apa tidak ada yang ingin mengajukan diri?"

Setelah aku pikir-pikir, liburan gratis berkedok kerja bukan pilihan yang buruk. Tiga hari seharusnya tidak masalah.

Aku mengangkat tangan kananku, "Saya bersedia, Dok."

"Baik, Wanda menjadi perwakilan dari tim legal. Selanjutnya apakah ada yang bersedia dari tim dokter?"

"Saya bersedia."

Aku menoleh ke arah sumber suara. Sedikit kecewa ketika suara tersebut bukan berasal dari Abian.

"Dokter Dion?"

Pria itu tersenyum, "Iya, Dok. Saya bersedia."

"Baik kalau begitu sudah diputuskan bahwa yang menjadi delegasi dari rumah sakit kita adalah Wanda dan dokter Dion. Terima kasih. Rapat saya tutup, bagi para dokter tetap di tempat karena kita akan berdiskusi mengenai pasien."

Saat berjalan keluar, aku melihat Abian melirikku dengan pandangan yang tidak menyenangkan. Sepertinya dia masih kesal dengan perlakuanku.

Sebelumnya aku sudah izin kepada Ayahku untuk pergi selama tiga hari. Ayahku tentu saja mengizinkan dengan sepenuh hati. Mengingat kondisi ayahku juga berangsur membaik sehingga aku memberanikan diri untuk ke luar kota.

"Wanda enak banget ya. Kemarin-kemarin dekat dengan dokter Abian, sekarang pergi keluar kota bareng dokter Dion."

"Wanda agak ganjen enggak sih?"

Sepanjang koridor suara berisik itu tak kunjung redam. Lama-lama telingaku bisa panas kalau setiap hari harus mendengar omong kosong seperti itu.

"Jangan dengerin omongan orang. Mereka iri." ucap Sisil yang menyadarkan aku dari lamunanku.

Aku tersenyum menanggapi ucapan Sisil.

"Dokter Dion itu saingan dokter Abian." ujar Sisil, ia sudah menjadi salah satu perawat yang menjadi teman baikku di sini.

Tanpa ditanya, Sisil dengan senang hati langsung menjelaskan hal yang ingin aku ketahui.

"Kok bisa?"

"Mereka itu ibarat kutub utara dan kutub selatan. Dokter Abian lebih friendly dan suka tebar pesona, tetapi aslinya jutek. Kalau dokter Dion terlihat kaku dan dingin, aslinya manis."

"Masa? Kok kamu tahu Sil?"

"Saya kan pernah jadi perawat kepercayaan dokter Dion sebelum ganti shift."

"Terus terus?"

"Katanya dari dulu sekolah nilai mereka memang sering saling kejar-kejaran. Tapi, yang juara pertama selalu dokter Abian."

Aku manggut-manggut mendengar cerita Sisil. Sisil nampak asik bercerita dan aku pun asik mendengar cerita Sisil. Ia bercerita banyak sekali termasuk apapun yang ia ketahui tentang rumah sakit.

"Kamu tahu kalau ini masih jam kerja?"

Sumber suara berhasil membuat wajah Sisil merah padam menahan rasa malu dan takut.

My Impressive PartnerWhere stories live. Discover now