06 : Terbiasa

5.7K 804 10
                                    

"Wanda, jangan lupa siapin surat rujukan untuk Bu Riana ya." titah Abian melalui telepon tadi pagi.

Hari ini merupakan hari ketujuh aku bekerja dan pekerjaan yang aku lakukan selama tujuh hari belakangan sudah berhasil membuat kepalaku pusing.

Rumah sakit selalu sibuk, tidak peduli waktu matahari terbit atau terbenam. Faktor utamanya karena rumah sakit tempatku bekerja adalah rumah sakit umum yang paling bagus di wilayah tempat tinggal ku. Ketika salah satu pasien diperbolehkan untuk pulang, maka di satu sisi ada pasien lain yang siap mengantri untuk mendapatkan kamar rawat inap.

"Dokter Abian dimana Sil?" tanyaku kepada salah satu perawat yang biasanya bekerja dengan Abian. Satu minggu merupakan waktu yang cukup bagiku untuk bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit.

"Ke IGD Mbak, dokter di IGD banyak yang kejebak macet, butuh dokter Abian untuk bantu." jawab Sisil.

Tentu saja IGD menjadi salah satu tempat paling sibuk di setiap rumah sakit.

Aku menganggukkan kepalaku, "Thank you."

Sepertinya makanan yang aku siapkan untuk makan siang Abian tidak akan sempat dimakan. Aku melirik lirih tote bag yang berisikan makan siang Abian.

Tadi pagi, ayahku yang tahu bahwa aku sementara pindah ke rumah sakit yang sama dengan tempat Abian bekerja langsung dengan semangat memintaku untuk memperhatikan kebutuhan "calon suamiku", termasuk salah satunya membuatkan bekal makan siang.

"Oh iya Sil, nanti kalau dokter Abian sudah kembali, tolong minta dia buat tanda tangan surat kepulangan pasien ya." pintaku kepada Sisil.

Sisil menggelengkan kepalanya, "Tadi dokter Abian sudah titip pesan sih Mbak supaya Mbak sendiri yang menghampiri beliau. Saya juga enggak tahu alasannya, Mbak enggak ada buat salah kan?"

"Saya enggak ada salah, dia yang selalu nyari masalah. Oke deh, makasih ya Sil."

Sisil memamerkan senyum pepsodent miliknya, "Sama-sama Mbak."

Aku pun memutuskan untuk mampir ke IGD untuk memastikan apakah Abian sudah luang.

Baru saja aku melangkahkan kakiku ke pintu IGD, terbesit perasaan miris ketika melihat IGD yang penuh. Sesak rasanya mendengar tangisan, rintihan, dan teriakan yang memenuhi ruangan. Raut wajah para dokter pun tidak bisa berbohong, aku sangat yakin kalau mereka sangat kewalahan. Beberapa koas nampak sibuk menghubungi dokter spesialis untuk konsultasi mengenai tindakan selanjutnya.

Beberapa keluarga pasien biasanya mengerti mengenai penanganan di IGD, tetapi tak sedikit pula yang merasa didiamkan dan tak diurus. Mereka merasa dokter tersebut hanya sibuk dengan ponsel dan tidak ada tindakan atau penanganan lebih lanjut. Mereka biasanya marah dan tak segan ribut dengan petugas kesehatan.

Di satu sisi, aku sangat mengerti perasaan keluarga pasien yang ingin mendapatkan penanganan terbaik. Namun, di sisi lain aku bersimpati dengan para tenaga kesehatan yang harus sabar menghadapi pasien-pasien beserta keluarganya yang terkadang bebal dan cukup menyebalkan.

"Wanda?"

Sepertinya aku cukup lama termenung hingga tidak menyadari bahwa Abian sudah ada di depan mataku.

"Kamu sudah makan siang?" tanyaku yang entah kenapa refleks menanyakan perihal urusan perut.

Abian menggelengkan kepalanya, "Belum. Saya tidak sempat."

"Sekarang sudah sempat?" tanyaku ketika melihat dua dokter yang seharusnya datang dua jam yang lalu sudah hadir untuk membantu.

Abian melirik sekitar dengan cukup cepat, "Sepertinya cukup untuk sekadar makan siang. Kenapa nanya? Kamu kode mau saya ajak makan siang bareng?"

My Impressive PartnerTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon